Molen yang Dulu , Bukan yang Sekarang?

👉 Mengakui jika dulu merasa sombong, sekarang menjual air mata dan mengumbar permintaan maaf. Benarkah Molen sudah berubah?

Oleh: Kiyai Rusip

Opini

Siapa sangka Molen, yang pernah merasa paling berkuasa di Pangkalpinang, kini menjual air mata di hadapan kita semua? Tidak banyak orang lupa, betapa dulu Molen berdiri pongah di atas survei yang katanya tembus 55% lebih. Dengan rasa jumawa, semua partai diborong habis. Lawan hanya Kotak Kosong? Ah, enteng! Begitu kira-kira pikirnya.

Di belakang panggung, pengurus partai dan anggota DPRD hanya jadi pajangan. Mesin partai yang mestinya tulang punggung kemenangan disingkirkan, diganti relawan Monica yang dianggap lebih ‘powerful’. Molen cuma percaya satu mantra: “Survei kita tinggi, santai saja.” Namun Tuhan tak pernah tidur — Kotak Kosong yang diremehkan justru mencatat sejarah: Molen tumbang.

Kini panggung baru dibuka. Molen memoles wajahnya seputih kapas, merintih sebagai orang yang dizholimi, dicampakkan, disakiti. Wajah memelas rasa kasihan diperdagangkan ke mana-mana. Warga Pangkalpinang diajak menelan dongeng: Molen adalah korban. Korban partai, korban pengkhianatan. Padahal siapa yang dulu merasa gagah bisa berdiri sendiri? Merasa tak butuh peran partai?

Lucunya lagi, PDI Perjuangan kini dilabeli “partai tak tahu balas budi” yang dengan mudahnya membuang Molen, seolah lupa jasa besar Molen membesarkan PDI Perjuangan di Pangkalpinang. Padahal faktanya, proses di internal PDI Perjuangan berlangsung fair dan sportif. Nama Molen tetap prioritas dipertimbangkan. Molen diundang ikut fit and proper test. Ia diberi ruang bebas untuk aktif memperjuangkan rekomendasi PDI Perjuangan agar jatuh kepadanya.

Bahkan Molen sendiri berkali-kali berjanji: “Tak akan maju Pilkada kalau tidak diusung PDI Perjuangan.” Tapi apa yang terjadi setelah rekomendasi PDI Perjuangan ternyata tidak mengusung namanya? Janji Molen pun hilang bersama ambisi.

Maka muncullah Gerindra, yang katanya jadi “penolong di ujung tanduk”. Publik dipaksa percaya: Molen dan Gerindra bagai sahabat seperjuangan. Padahal semua tahu, Gerindra hanyalah perahu darurat. Andai Gerindra tak membuka pintu, Molen hanya akan berdiri di pinggir panggung jadi penonton.

Apakah Gerindra benar-benar prioritas utama Molen? Tidak. Apakah Molen punya andil membesarkan Gerindra? Juga tidak. Ini hanya tiket darurat agar Molen tak benar-benar jadi penonton. Relasi Molen dengan Gerindra adalah kawin paksa: pragmatis, bukan romantis.

Elite Gerindra pun sama tahu. Mereka mafhum, Molen datang bukan sebagai kader ideologis yang militan, melainkan pelarian terakhir. Tentu para kader Gerindra tidak buta sejarah, bahwa dua kali PDI Perjuangan telah jadi tulang punggung politik Molen. Mulai dari tenaga hingga biaya pemenangan saat dua kali maju Pilkada.

Ironisnya, di tangan Molen, cerita gemilang ini mendadak diputar balik. Ia membalut masa lalu dengan air mata, menghidangkan citra baru: dirinya seputih kapas, PDI Perjuangan sekelam arang. Strategi ini sengaja memutarbalik logika, membelah opini kader partai banteng.

Banyak orang bilang, politik itu panggung sandiwara. Tapi Molen membawanya ke level lebih tinggi: menjadikan drama air mata dan narasi dizholimi sebagai senjata pamungkas. Jika publik tak cerdas, air mata ini bisa menjebak rasa kasihan.

Sebentar lagi panggung final digelar: PSU Pilkada Pangkalpinang 2025. Molen kembali bertarung, kali ini menumpang bahu Gerindra. Rakyat Pangkalpinang akan menyaksikan: apakah drama Molen “mendadak tobat” ini bisa mendulang rasa kasihan warga? Apakah cerita politik tersakiti akan menghapus semua ingatan tentang tabiat Molen saat berkuasa?

Apakah wajah baru Molen yang sederhana dan berkopiah kini bisa mengobati luka para aparatur pemerintah kota yang banyak tersakiti saat berupaya meraih jabatan?

Apakah kederhanaan yang Molen tampilkan sekarang mampu menutupi ingatan warga tentang koleksi tas dan jam mewah milik sang istri — di saat yang sama masih banyak warga yang kesusahan?

Apakah wajah memelas dan air mata ke mana-mana bisa menghapus jejak Molen yang dulu lebih senang naturalisasi pejabat titipan dari Palembang ketimbang memberdayakan putra-putri Pangkalpinang sendiri?

Ah, memang tak salah Molen bergelar doktor. Doktor bidang Ilmu Manajemen. Karena terbukti, Molen ahli sekali dalam manajemen drama politik. Terutama jurusan politik tersakiti.

Hanya saja, jika boleh berharap, semoga tak banyak dari kita, warga kota ini, yang tertipu. Seketika luluh pada tangis air mata di kamera. Hanyut pada drama politik ‘tersakiti’ yang tayang di mana-mana. Terbuai dengan kata maaf yang terucap beribu kali demi simpati untuk berkuasa lagi.

Karena jika sekali kita biarkan sandiwara ini menang, besok kita akan dipaksa menonton drama yang sama — dengan lakon yang lebih basi.

Mari jaga Pangkalpinang dengan akal sehat, bukan air mata palsu. Biarlah cerita Molen hari ini jadi pengingat: kotak kosong pun bisa menang bila kesombongan dibiarkan merajalela. Dan kita, warga Pangkalpinang, berhak memilih untuk tidak terus tertipu. Cukup sudah tertipu karena seribu senyuman, jangan pula tertipu lagi oleh jutaan air mata berlinang.

Bagaimanapun, Pilkada 2025 bukan ruang untuk panggung penebusan dosa dadakan. Ini tentang siapa yang benar-benar mau berjalan bersama rakyat, bukan hanya mau ditopang saat terpojok.

Exit mobile version