BANGKA BARAT, Warta-one.com| — Sebuah Perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan Tanah Negara Bebas di Desa Benteng Kota, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, menjadi sorotan tajam. Pasalnya, Kepala Desa (Kades) Benteng Kota, Saprul, disebut-sebut telah meneken kerja sama dengan pihak swasta, yakni PT. Indeco Metal Jayaindo (PJO TB 2.1), untuk memanfaatkan lahan seluas 39 Hektar yang diklaim sebagai Tanah Negara Bebas.
Kejanggalan muncul karena lahan tersebut disinyalir merupakan aset yang sebelumnya sudah dibebaskan (dibeli) oleh PT Timah Tbk melalui proses lelang, yang semestinya berstatus lahan negara atau aset negara. Bagaimana mungkin seorang Kepala Desa memiliki otoritas untuk memberikan izin kerja sama pemanfaatan lahan yang statusnya jelas milik negara, bukan aset desa?
Berdasarkan dokumen Perjanjian Kerja Sama yang didapatkan media ini , kerja sama ini diteken pada Rabu, 29 April 2020.
Pihak yang terlibat adalah:
- PIHAK PERTAMA: Saprul, Kepala Desa Benteng Kota Kecamatan Tempilang (disebut PEMBERI KERJA SAMA).
- PIHAK KEDUA: Deswa Maulana, Penanggung Jawab Operasi (PJO) TB 2.1 – PT. Indeco Metal Jayaindo (disebut PENERIMA KERJA SAMA).
Dalam dokumen tersebut, Kades Saprul menyatakan bahwa lahan seluas 39 Hektar itu merupakan Tanah Negara Bebas yang statusnya tidak terdapat kandungan bijih timah dan bersedia bekerja sama untuk pemanfaatannya. Namun, status lahan yang merujuk pada SK dan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Kades sendiri menunjukkan bahwa lahan tersebut merupakan bekas lahan lelang PT Timah Tbk.
Lahan yang sudah dibebaskan oleh BUMN seperti PT Timah Tbk dan memiliki hak (seperti Hak Guna Usaha/HGU atau sejenisnya) pada dasarnya adalah aset negara. Pertanyaannya, dengan dasar hukum apa Kades Benteng Kota bisa mengalihkan atau memberikan izin pemanfaatan aset negara kepada PT. Indeco? Ini potensi pelanggaran serius terhadap tata kelola aset negara.
Sumber terpercaya di lapangan menyebutkan bahwa lahan eks PT Timah Tbk yang sudah dibebaskan oleh BUMN seharusnya kembali ke pangkuan negara untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan komersil swasta melalui inisiatif kepala desa tanpa dasar hukum yang kuat.
Dokumen perjanjian ini semakin menguatkan dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan praktik tak lazim dalam pengelolaan aset negara di tingkat desa. Pihak-pihak terkait, mulai dari Inspektorat Kabupaten Bangka Barat hingga Kejaksaan, dituntut untuk segera turun tangan melakukan investigasi mendalam terkait legalitas perjanjian dan status sebenarnya dari lahan 39 Hektar tersebut.
Ironisnya, di tengah polemik legalitas kerja sama pemanfaatan lahan negara ini, muncul pertanyaan krusial lainnya: Lalu, Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Indeco Metal Jayaindo kemana?
Sebagai pihak yang mendapatkan keuntungan komersial dari pemanfaatan lahan (yang statusnya) milik negara di wilayah Desa Benteng Kota, sejauh mana kontribusi riil PT Indeco kepada masyarakat sekitar? Sudahkah dana CSR mereka disalurkan secara transparan dan tepat sasaran untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan warga desa, sebagaimana mestinya kewajiban perusahaan tambang/ekstraktif?
Masyarakat Bangka Barat menuntut transparansi dan akuntabilitas penuh. Perjanjian yang mencurigakan ini tidak hanya mengancam aset negara, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat jika kewajiban CSR perusahaan diabaikan atau disalahgunakan.
Sementara Kepala Desa Benteng Kota sudah diminta klarifikasi,hingga berita ini ditayangkan belum memberikan penyataan dan masih diupayakan klarifikasinya








