Gunakan Harta Hasil Korupsi;Keluarga Koruptor Bisa Dipidana?

 
WARTA-ONE.COM,PANGKALPINANGDalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan [IUP] PT. Timah Tbk periode 2015-2022 dengan salah satu tersangka yang cukup terkenal di dunia pertimahan Bangka Belitung atas nama Tamron als Aon yang mana dalam perihal ini sebagian harta tersangka sudah di sita oleh Jaksa Agung RI.Rabu(27/03/2024)

Namun harta yang di sita oleh Jaksa Agung RI hanyalah sebagian,bukan jadi rahasia umum lagi jika harta bos Aon dari hasil bisnis timah yang telah di geluti selama ini masih di nikmati istri,anak dan keluarga dari tersangka koruptor Tamron als Aon,ada pun harta kekayaan Aon yang diperkirakan sebesar 21T melebihi kekayaan prabowo, Harta kekayaan Tamron als Aon berupa:
-Kebun sawit ratusan hektar CV MAL Arung Dalam.
-Tambak udang di desa penyak bangka tengah
-Pabrik CPO(Craude Palm Oil) desa arung dalam.
-Aset yang berada di perbankan 10T yang dibekukan 2,3T.

Berdasarkan informasi yang berkembang,anak dan istri dari tersangka koruptor Aon telah mempergunakan dan menikmati hasil dari korupsi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui bahwa harta hasil korupsi tersebut. Oleh karena itu, saya berasumsi bahwa koruptor tersebut memberikan harta maupun uang hasil korupsi kepada istri dan anak maupun keluarga lainnya.

Menurut hematnya,perbuatan koruptor tersebut dapat dikatakan sebagai dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”), yaitu proses seseorang menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau pemakaian ilegal dari pendapatan, dan kemudian menyamarkan pendapatan tersebut sehingga tampak sah,Pencucian uang ( Money Laundry ) juga dapat dikatakan sebagai perbuatan yang diubah dan menyembunyikan uang tunai atau aset yang diperoleh dari suatu kejahatan, yang tampaknya berasal dari sumber yang sah.

Perlu diketahui, Korupsi adalah menutupi kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi juga berarti memungut uang bagi layanan yang seharusnya sudah diberikan, atau menggunakan izin untuk mencapai tujuan yang tidak sah.

Korupsi tidak akan lepas dari beberapa ciri khusus, yaitu:

suatu pengabdian terhadap kepercayaan, Penipuan terhadap badan pemerintah,Lembaga swasta atau masyarakat umum,dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus,dilakukan dengan rahasia,melibatkan lebih dari satu orang atau pihak,adanya kewajiban dan keuntungan bersama.

Menurut perspektif ilmu hukum, korupsi dijelaskan secara gamblang dalam UU 31/1999 dan UU 30/2002 serta masing-masing perubahannya. Namun pada intinya dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan seseorang yang melawan hukum, guna mensejahterakan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan jabatan yang dapat merugikan keuangan negara.

Ada pun yang Berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 3 UU 8/2010 yang berbunyi:

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri.

Dari 15 tersangka yang sudah ditetapkan, terdapat penyelenggara negara, yakni: M Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku mantan Direktur Utama PT Timah; Emil Emindra (EML) sebagai Direktur Keuangan PT Timah tahun 2017 sampai dengan 2018; Helena Lim(PIK)dan Alwin Albar (ALW) sebagai Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 sekaligus Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 sampai dengan 2020 PT Timah.

Kemudian selebihnya merupakan pihak swasta, yakni: Pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon (TN); Manajer Operasional CV VIP, Achmad Albani (AA); Komisaris CV VIP, BY; Direktur Utama CV VIP, HT alias ASN; General Manager PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Rosalina (RL); Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) berinisial RI; SG – AW selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; MBG sebagai pengusaha tambang di Pangkalpinang; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta (SP); dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah (RA).

Sedangkan untuk menghalangi keadilan, Kejagung telah menetapkan Toni Tamsil alias Akhi, adik Tamron sebagai tersangka.

Pada kasus ini, Kejaksaan Agung bisa menjerat Keluaraga Aon dengan pasal 3 dan atas pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Keluarga ,anak dan istri Aon disebutkan menyamarkan, mengubah bentuk atau menyembunyikan harta kekayaannya yang diduga berasal dari hasil korupsi tata niaga komoditas yang merugikan negara mencapai Rp.21 T. Selain itu diduga terdapat aset yang dialihkan atas nama Keluarga,istri dan anak.

Namun, untuk menentukan apakah benar telah terjadi tindak pidana pencucian uang, perbuatan seseorang harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan UU 8/2010.

Dalam melakukan tindak pidana pencucian uang, pelaku utama atau pelaku aktif umumnya melibatkan pihak lain untuk melancarkan aksinya.

Dikarenakan tujuan utama dari tindakan tersebut adalah menyembunyikan hasil dari tindak pidana, maka pelaku utama akan melakukan beberapa upaya yang ditujukan untuk menyamarkan harta kekayaan atau mengubah bentuk dana melalui beberapa transaksi demi kasih sayang (audit trail) asal usul dana tersebut, Siapa saja pihak-pihak yang menerima harta tersebut.

Dapat digolongkan sebagai pelaku pasif. dimuat dalam UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 5 ayat 1, dengan bunyi pasal sebagai berikut:

“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku pasif jika memenuhi unsur mengetahui dan mungkin menduga bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan atau mengetahui tentang atau bermaksud untuk melakukan transaksi. 

Proses yang bersifat loop ini, seringkali digunakan untuk membantu proses TPPU berjalan dengan baik serta mengecoh penyelidikannya. Maka, penolakan atas sangkaan pelaku pasif oleh para istri merupakan bentuk penolakan atas tanggung jawab legalitas hukum yang berlaku.

Dalam teori netralisasi, tindakan penyamaran uang hasil korupsi yang sebenarnya juga dilakukan oleh pelaku pasif merupakan bentuk dari salah satu teknik netralisasi yaitu penolakan tanggung jawab. 

Pelaku pasif seringkali mengklaim bahwa tindakan mereka yang melanggar hukum murni bukanlah kesalahan mereka. 

Deny of Responsibility menjelaskan bagaimana pelaku menyangkal tanggung jawab dengan mengklaim bahwa perilaku mereka tidak disengaja atau karena hal tersebut terjadi di luar kendali mereka. Pelaku justru melihat diri mereka sebagai korban keadaan atau sebagai hasil dari kondisi di lingkungan mereka. 

Dalih bahwa pelaku tidak terlibat langsung dalam tindak pidana asal, atau tidak mengetahui bahwa harta tersebut hasil dari tindak pidana seringkali menjadi justifikasi pelaku pasif untuk membenarkan tindakannya dalam menerima atau menikmati hasil tindak pidana dan menghindari sanksi hukum bagi dirinya sendiri.

Maka sejatinya pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang tetap perlu ditindak tegas secara hukum. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, akan menjadi celah bagi pelaku utama untuk mengalirkan dana hasil tindak pidana secara terus-menerus kepada pelaku pasif, maupun menjadi pemicu bagi banyak pihak untuk juga menikmati hasil dari tindak kejahatan.

Dalam kasus ini istri sebagai orang terdekat dinilai seharusnya mengetahui apabila suami memberikan sesuatu yang di luar kebiasaan, terutama dalam jumlah yang tidak sesuai pendapatan suami, istri “patut menduga” bahwa harta kekayaan tersebut hasil dari tindak pidana.

Maka yang perlu dibuktikan dari pelaku pasif terkait tidak patut menduga dan mengetahui serupa dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah lalai).

TPPU adalah proses seseorang menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau penggunaan ilegal dari pendapatan, dan kemudian menyamarkan pendapatan tersebut untuk menjadikannya tampak sah, salah satunya diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Jika keluarga koruptor mempergunakan hasil korupsi dalam kehidupannya sehari-hari, tanpa mengetahui bahwa harta tersebut hasil dari korupsi, maka dapat didakwa sebagai pelaku TPPU pasif dan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Oleh karena itu, sanksi hukum tersebut perlu diberikan terutama untuk mencegah banyaknya pihak yang secara sengaja maupun sembarang menerima hasil kejahatan.

Dengan hanya di terapkan Undang-Undang Minerba ataupun Undang-Undang Tipikor Rasanya kurang adil,tidak ada efek jera dan kedepannya jika di temukan lagi denga kasusnya yang sama tidak menutup kemungkinan aka jadi suatu perbandingan jika AON cs tidak di terapkan dengan Pasal TPPU.(PJL)

   @AWAM BABEL

Exit mobile version