APH Tertidur, Hutan Konservasi Batu Hitam Rumpak Mengkubung di Jarah Penambang Timah Ilegal

WARTA-ONE.COM,BELINYUKonservasi hutan berfungsi untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati (flora dan fauna) di dalamnya.

Bayangkan aparat pembela hukum (APH) di Bangka Belitung tidak berdaya menghadapi para pelaku penambang timah ilegal, bahkan para penambang timah ilegal jenis ponton rajuk dengan gagah berani dan terang-terangan melakukan aktivitas pencurian timah dikawasan hutan terlarang konservasi,Batu Hitam Rumpak Mengkubung.Senin( 11/03/2024)

Ketidakberdayaan APH untuk menertibkan para pelaku penambang ilegal, maka tak heran kegiatan penambangan timah ilegal dikawasan hutan konservasi di wilayah Batu Hitam Rumpak Mengkubung
Kecamatan Belinyu saat ini masih terus berlangsung dengan santai bahkan terkesan menantang APH.

Pantauan awak media, saat ini kegiatan penambangan timah ilegal ponton Rajuk diduga ilegal sudah menimbulkan gejolak, pasalnya masyarakat yang kontra sudah mulai gerah adanya aktivitas penambangan timah ilegal Rajuk jenis ponton di wilayah Batu Hitam Rumpak Mengkubung Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka.

Hampir ratusan ponton jenis Rajuk yang saat ini masih beraktifitas di wilayah perairan batu hitam rumpak mengkubung yang sudah merambat Hutan konservasi.Sehingga, warga sekitar dusun batu hitam rumpak mengkubung yang mana sebagian besar nelayan sudah merasakan resah adanya aktivitas penambangan timah ilegal ponton Rajuk, karena mengganggu keluar -masuk (hilir mudik–red) perahu nelayan yang ingin melaut.

Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan di kawasan hutan yang dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Ancaman hukum pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

Selama ini pelaku kejahatan lingkungan hanya dijerat dengan satu pasal perusak lingkungan dengan hukuman ringan. Pasal menghasilkan uang bahkan nyaris tak pernah dipakai meskipun kejahatan tersebut jelas masuk dalam kejahatan yang menghasilkan nilai ekonomi besar.

Pasal 78 Ayat 5 Jo. Pasal 50 Ayat 3 Huruf e Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

 Selain itu, Pasal 40 Ayat 1 Jo. Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Jo. Pasal 55 Ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

Menindak tegas Pelaku Kejahatan Lingkungan Hidup dan Kehutaan dan akan ditindak dengan pasal pidana berlapis, baik menggunakan Undang-Undang tentang Kehutanan maupun Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”) mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (“IPPKH”) dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan di tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. undangan. undangan.

Dengan Pasal 98 atau Pasal 99 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP atas perbuatannya yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan peraturan-undangan (pendekatan undang-undang), pendekatan kontekstual (pendekatan konsep), dan pendekatan kasus (pendekatan kasus), dengan bahan hukum primer dan sekunder dengan teknik analisis pengkajian preskriptif.  

 Bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan pelaku usaha penambangan di kawasan hutan konservasi tanpa izin yaitu yang dapat dijatuhi hukuman pidana ada 4 bentuk yaitu melakukan penambangan tanpa izin, Menyampaikan data Laporan Keterangan Palsu, melakukan pencucian hasil tambang, dan tidak melakukan reklamasi dan pascatambang.

 Yang ketentuannya Pasal 158, Pasal 159, Pasal 161 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Masih terdapat praktik-praktik Penambangan ilegal belum menyentuh hukum yang terdapat di Batu Hitam Rumpak Mengkubung,Belinyu, karena Penegakan hukum terhadap penambangan Pasir Timah dalam Kawasan Hutan konservasi tanpa izin belum berjalan dengan Maksimal dan efektif. 

Mengingat bahwa perbuatan pertambangan tanpa izin merupakan tindak pidana pertambangan di dalam Kawasan hutan konservasi Batu hitam rumpak mengkubung tanpa izin, maka penjatuhan pidana seharusnya diorientasikan tidak hanya pada pelanggaran IPPKH melainkan pada perbuatan lain yang berkaitan dengan Pencucian hasil tambang dan reklamasi dan pasca penambangan. 

Hal ini dapat diupayakan melalui hukuman pidana (pidana) yang bersifat remidi (pembayaran ganti kerugian) melalui denda pidana dan tindakan sanksi yang bersifat daya paksa melalui pidana tambahan dalam Pasal 164 UU Minerba yang ditujukan untuk pemulihan lingkungan hidup. Sehingga dapat memberikan efek jerah bagi pelaku tindak pidana.(PJL)

Exit mobile version