Warta TambangWarta Utama

Wacana WPR Merupakan Problem Bersama Pempus dan Pemda Yang Harus Diselesaikan Secara Komprehensif

Pangkalpinang — Maraknya wacana soal proses perizinan WPR (wilayah pertambangan rakyat) di beberapa wilayah merespon statement perizinan gratis oleh Pj Gub Babel, Suganda Pandapotan beberapa waktu lalu. Merupakan hal yang menarik untuk dibahas sebagai wacana produktif yang bertujuan agar kesejahteraan masyarakat Babel bisa segera terlaksana, Rabu 3 Mei 2023. 

Menilik beberapa aktivitas penambangan yang telah berjalan, kabupaten Bangka Tengah dapat dijadikan sebagai contoh. 

Dua tahun yang lalu, Anggota DPRD Bangka Tengah Palevi Sahrun pernah mengemukakan bahwa seharusnya permasalahan lahan eks Koba Tin ini sudah saatnya dicarikan solusi bersama secara jitu dan komprehensif. 

“Di akun sosial media saya malah saya terangkan tentang penambangan era PT Koba Tin saat masih memiliki izin. Memang banyak beragam komentar, tapi saya perhatikan kalau sekarang belum ada yang mengambil tanggung jawab soal ini padahal ini sebagai salah satu aset penting daerah,” urai dia.

Pada kesempatan lainnya, media pernah dapat pernyataan dari mantan Kepala Dinas Pertambangan Pemprov Babel, Suranto Wibowo, terkait masih sumirnya status lahan WPN di tambang eks PT Kobatin, pada Selasa 26 Februari empat tahun lalu. 

“Oh iya berita soal WPN (wilayah pencadangan nasional) kemarin bagus itu. Harus didalami lagi, karena tidak banyak media yang mengangkat hal tersebut,” kata dia.

Namun lanjut Suranto, ada baiknya dalam penulisan berita terkait permasalahan lahan eks tambang Koba Tin tadi. Juga dipenuhi dengan basis data yang valid, agar tidak hanya membahas segi normatif saja. Tapi lebih di sisi substantif.

“Iya harus digali lagi keterangan pada stakeholder lainnya. Kalau kita (Distamben Provinsi) kan selama ini, terus terang memang belum diajak dialog dengan teman kabupaten. Tapi kedepannya kita siap jika ada dialog membahas hal tersebut,” ujarnya lagi.  

Disaat berlainan, ketika awak media berkesempatan melakukan wawancara dengan orang nomor dua di Pemkab Bangka Tengah, Julianto Satin diruang kerjanya. Ia malah mengungkapkan justru pihaknya yang menunggu penyerahan aset berupa IUP, HGU dan lainnya dari Kementerian ESDM. 

“Kan lumayan ruwet masalahnya jika bicara soal wpn eks tambang Koba Tin, kita tau itu memang wilayah pencadangan. Tapi kalau untuk jadi aset, kami menilai justru jadi beban di kemudian hari,” ungkap -saat itu Wabup- Julianto Satin ketika diwawancara di ruang kerjanya, di hari yang sama. 

Status Kawasan Pernah Diajukan Ke Direktorat Jenderal Minerba di 2018

Tak hanya itu, awak media pernah melakukan wawancara perihal status lahan WPN, ke Bupati Bangka Tengah -saat itu- Almarhum Ibnu Saleh, dan dijawab oleh beliau bahwa sebagai pemangku jabatan eksekutif, pihaknya juga memiliki tujuan untuk mensejahterakan rakyat Bangka Tengah. Makanya diambil langkah mengajukan status ke Kementerian ESDM via Dirjen Minerba pada tahun 2019 yang lalu. 

“Soal WPN coba kalian koordinasi dengan Direktorat Jenderal Kementerian ESDM di Jakarta. Kami di tahun 2018 sudah mengurus izin WPN (Wilayah Pencadangan Nasional) untuk menjadi WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) kemudian dirubah lagi ke bentuk WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat), kan gitu prosesnya,” kata beliau di kediamannya, pada 02 Maret 2019 yang lalu.

Tak berhenti sampai di otoritas daerah, media kemudian menghubungi Dirjen Minerba Kementerian ESDM RI -pejabat lama- Bambang Gatot Ariyono, sayangnya belum menuai respon maksimal pada 15/08/2019 tiga tahun yang lalu. 

“Untuk mengajukan izin usaha di WPN harus ke Kementerian Cq. Dirjen Minerba. Aturan disitu juga jelas, ada analisa Amdal, RKAB, serta pemenuhan Hak Lingkungan pasca tambang atau reklamasi,” urai Anggota DPRD Bangka Tengah Fraksi Partai Gerindra, Palevi Sahrun, ketika diminta pendapatnya soal status lahan Wilayah Pencadangan Negara di kawasan Koba Tin. 

Palevi menilai, permasalahan di lahan seluas 41.344,26 hektar tadi setidaknya membuka dua pekerjaan rumah yang sampai saat ini masih terbengkalai. Yakni pembentukan tiga BUMD dari Kabupaten Bangka Tengah, Pemkab Bangka Selatan, dan Pemerintah Kota Bangka Belitung yang tergabung dalam konsorsium PT Timah Bemban Babel yang akan mengelola ladang eks Koba Tin.
“Seingat saya porsi kepemilikan dalam konsorsium itu yakni Timah memegang 40 persen dan tiga BUMD untuk 60 persen,” terang Politisi Gerindra tadi. 

Satunya lagi, sambung dia, adalah soal kewajiban reklamasi pasca tambang. Besarannya cukup fantastis, senilai US$ 1,8 juta. Kalau dirupiahkan sebesar 25,991,460,000 rupiah yang sudah diterima Kementerian BUMN di tahun 2020 yang lalu. 

“Jadi permasalahan lahan tambang eks Koba Tin ini cukup rumit bro, selain ada pembentukan tiga BUMD sebagai bagian konsorsium yang akan mengeksplorasi deposit timah yang terkandung disitu, ada juga kewajiban reklamasi lahan pasca tambang yang sekarang ini statusnya kuldesak karena terbentur status pailit PT Kobatin,” ucapnya. 

Perlu ditambahkan disini, fakta di lapangan, media menemukan praktek pertambangan kuat dugaan ilegal di lahan tambang eks PT Kobatin. Walau yang menambang adalah warga sekitar lahan tambang, namun yang paling penting ditanyakan ke mereka ialah, kemana larinya pasir timah hasil penambangan tadi.

Ibaratnya yang paling mirip, mungkin seperti ini,  setelah PT Koba Tin adakan kenduri timah di lahan puluhan ribu hektare tersebut. Mendadak mereka pergi begitu saja pada tahun 2003, setelah Kontrak Karya 41 tahun. Mereka seolah lenyap dengan meninggalkan puluhan ribu asset, kewajiban reklamasi yang terbentur terjalnya regulasi yang kerap berubah-ubah. 

“Kalau dulu waktu zaman PT Kobatin kan namanya PMA (Penanaman Modal Asing) jadi bentuknya Kontrak Karya. Nah sejak adanya Omnibus law otomatis UU Minerba ikut berubah. Jadi aturan merubah WPN menjadi WIUPK logikanya ikut alami penyesuaian. Dalam UU yang lama, izin merubah ada di DPR RI sementara kalau UU yang baru wewenang itu adanya di Kementerian ESDM cq Dirjen Minerba,” terang Anggota DPRD Bangka Tengah, Palevi Sahrun pada wartawan.  

Palevi bilang, masalah klasik yang selalu membelit hubungan antar Pusat dan Daerah adalah masalah Hak dan Kewajiban. Artinya, lazim terjadi ketika ada hal yang bernama royalti, pajak daerah mengklaim bahwa itu Hak mereka. “Tapi kan selain Hak ada juga Kewajiban. Lucunya, biasa mereka selalu mengaitkan dengan pusat. Jika di Kabupaten, mereka menyebut itu kewenangan Provinsi. Sama juga ketika menyentuh Provinsi, mereka lempar itu tanggung jawab Pusat, harusnya kan mereka sebut kami ini kepanjangan dari pusat. Kan giliran dana bagi hasil mereka klaim,” sebut dia. 

Di sisi lain, beberapa waktu yang lalu awak media pernah berbincang dengan salah satu ‘pemain’ timah di kawasan WPN Bemban. Dan sumber redaksi tadi tidak menampik bahwa di area eks KK PT Koba Tin seluas hampir 41.000 hektar tadi deposit timahnya masuk kategori gemuk. “Beguyur lah bang. Iya masih disitu bang,” kata kolektor level Kabupaten tersebut. 

Terakhir, di Selasa siang 24 Mei 2022, wartawan sudah ajukan konfirmasi tertulis lewat nomor whatsapp Bupati Bangka Tengah Algafry, sayangnya belum direspon walau empat paragraf pertama sudah bercentang biru. Dan akan terus diupayakan agar berita bisa coverbooth. 

Kini, berdasarkan informasi yang dihimpun oleh media. Di seputaran Perlang, Lubuk Besar sampai Beriga skema WPR yang diwacanakan dulu telah bergulir, walau dapat disebut secara malu-malu. Ada dua masalah utama yang menjadi problem besar di depan. Pertama soal payung hukum WPR, kedua soal sudahkah BUMD sebagai pihak yang ditunjuk oleh UU Minerba memfasilitasi animo menambang rakyat sudah terbentuk atau belum. Jika keduanya belum dilaksanakan maka sejatinya, pemerintah pusat hanya memindahkan sengkarut masalah ini ke daerah. (LH) 

Sign up for a newsletter today!

Want the best of NewsyFeed Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts

No Content Available