Sudut PandangWarta Utama

Sejarah Singkat Pertimahan Di Bangka Belitung Serta Paradoksnya Angka 30% di “Kue” Bagi Hasil

Jakarta — Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia. 

Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. 

Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852. Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha. 

Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel. Permasalahan 

Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula.

Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. 

Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas penambangan illegal. 

Pemberian ijin tambang inkonvensional (TI) di Bangka Belitung telah mengurangi pendapatan negara dan daerah akibat terjadinya penyelundupan, serta mengancam terkurasnya ketersediaan cadangan timah di Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin mendukung usaha pertambangan PT Timah sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua perusahaan tersebut tidak perlu membuka area penambangan baru. 

Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat. Mestinya, pemerintah pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara.

Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun 2007, melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun. Kerugian Negara Akibat Penyelundupan Timah Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun 2006 melaporkan, nilai penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10 miliar per bulan. Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu kelaziman. Pada akhir 2005, pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung pasir timah, atau senilai Rp 1 miliar. Timah yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia, umumnya berasal dari tambang-tambang rakyat (TI). 

Awalnya, penambang mitra PT Timah masih menjual seluruh hasil tambang timahnya ke PT Timah. Namun, godaan harga yang lebih tinggi dari pembeli lain membuat penjualan timah ke PT Timah menurun. Penambang TI menjadi marak setelah UU Otonomi Daerah disahkan dan Keputusan Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tertanggal 22 April 1999 menyatakan timah dikategorikan sebagai barang bebas. 

Pemda Bangka Belitung kemudian menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis, Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya. Semua peraturan ini untuk melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional dengan tujuan mengatrol pendapatan daerah yang mandiri. Terkait hal ini, Juru Bicara PT Timah, Dwi Agus, menyatakan kebijakan otonomi daerah membawa dampak buruk bagi PT Timah. Sebab, ujar Dwi, muncul saingan usaha.

Di sisi lain, pengawasan penuh konsesi terutama di darat tak bisa dilakukan karena juga meliputi daerah-daerah hutan. Dengan demikian, banyak kebocoran di lapangan yang dilakukan mitra. Jika timah diselundupkan ke luar negeri, tentu negara tidak mendapatkan royalti dan pajak, dan pemegang KP ditunggangi penambang. Kerugian lain pemerintah meliputi dana reklamasi dan pungutan lain yang diatur dalam Perda, yang tidak dibayar oleh penambang liar. Sejak penertiban timah ilegal dilakukan besar-besaran pada bulan Oktober 2006, harga logam timah di pasar dunia terus meningkat. Tercatat harga logam timah di London Metal Exchange (LME) dan Kualalumpur Tin Market berkisar pada level 13.000 dolar/ton, meningkat dari harga sebelumnya sekitar 8.000 dolar/ton. Hal ini karena pasar dunia logam timah terjadi kekurangan pasokan, karena Indonesia (PT Timah Tbk) hanya memasok 5.500 ton/bulan. Sementara negara-negara pemasok logam timah lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tidak mempunyai kemampuan produksi yang besar. 

Menurut Dirut PT Timah pada tahun 2007, Thobrani Alwi, sebelumnya PT Timah mengekspor hanya 5.500 ton/bulan. Pada Januari 2007, PT Timah hanya mengirim 3.500 ton, sehingga harga meningkat. Namun, stok timah dunia masih banyak sekitar 9.000 hingga 10.000 ton. Selanjutnya, Indonesia sudah mulai mampu mempengaruhi harga logam timah dunia pasca penertiban timah ilegal.

Pembeli yang sebelumnya membeli komoditi ini dari Singapura, Malaysia dan Thailand mulai minta pasokan dari PT Timah Tbk. Akan tetapi, saat ini PT Timah mendahulukan customer-customer yang sudah lama bermitra dengan PT Timah. Andai sebelumnya pemain-pemain pertimahan di Indonesia mengikuti aturan, pasti Indonesia sejak dulu bisa menjadi price maker. 

Diharapkan kedepan, Indonesia dapat memegang harga timah dunia, bila perlu Kuala lumpur Tin Market yang menentukan patokan harga timah saat ini, pindah ke Jakarta atau Bangka menjadi Jakarta Tin Market atau Bangka Tin Market. Sebelumnya, jika kebutuhan timah dunia mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton secara legal. Padahal, 60.000 ton yang dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari Indonesia. Oleh karena itu, ke depan pelaku-pelaku bisnis timah harus dapat mengekspor sesuai peraturan. 

Dengan harga timah tinggi, pemerintah akan mendapat royalti dan pajak lebih besar. Selain pasokan berkurang di pasar dunia, kenaikan harga juga dipicu oleh konsumsi timah pada industri yang menggunakan bahan dasar timah saat ini semakin meningkat. Kemudian, kalangan industri mulai memperhatikan unsur kesehatan dan lingkungan.

Pendapatan PT Timah Pendapatan PT Timah pada tahun 2008 adalah Rp. 9,053 Triliun, pendapatan ini meningkat jika dibandingkan pendapatan tahun 2007, yakni Rp 8, 542 Triliun atau sekitar 906.932 Juta USD. Sedangkan di tahun 2006, pendapatan PT Timah sekitar Rp. 4, 076 Triliun. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, tren pendapatan PT Timah memang terus mengalami peningkatan. Artinya royalti dan pajak serta deviden yang diterima negara pun meningkat. Tabel 1. Produksi Timah Indonesia Sumber: PT Timah Tbk. Tabel 1 di atas memperlihatkan produksi timah Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Melalui PT Timah, Indonesia pun memperoleh pendapatan yang terus meningkat. 

Khusus 2006, 2007, dan 2008 keuntungan bersih PT Timah masing-masing adalah Rp 208 miliar, Rp 1,7 triliun, dan Rp 2 triliun.

Dengan peningkatan keuntungan yang begitu besar, ditambah lagi dengan dampak ekonomi dan efek multiplier dari aktivitas pertambangan timah, seharusnya negara mendapat manfaat yang besar dan kesejahteraan rakyat Babel juga meningkat. Namun di sisi lain, aktivitas penambangan timah ilegal dan penyelundupan timah pun marak terjadi. Transaksi penyelundupan timah tersebut nilainya mencapai Rp 10 miliar per bulan (Kejati Babel, 2006). Dari nilai tersebut, tidak satu rupiah pun masuk menjadi kas negara. Artinya, negara dirugikan Rp 10 Miliar per bulan, ditambah lagi cadangan timah terus menipis akibat aktivitas penambangan ilegal merajalela. Sementara itu, faktor harga akan selalu mempengaruhi pendapatan PT Timah serta besarnya royalti dan pajak yang masuk sebagai kas negara. Harga tertinggi logam timah dunia selama tahun 2008 adalah US$ 25.500/ton dan terendah adalah US 10.000/ton. Harga rata-rata timah tahun 2008 adalah sebesar US$ 18,512/ton atau meningkat 27 % dari harga rata-rata logam timah dunia tahun 2007 yang sebesar US$ 14,529/ton 

Menurunnya harga logam timah pada triwulan keempat 2008 terpengaruh oleh arus krisis ekonomi global yang menyebabkan berkurangnya permintaan logam timah. Perkiraan banyak analis, harga timah tahun 2009 akan berada pada kisaran US$ 13.000 per ton, menurun dibandingkan tahun 2008 (Majalah Kontan, 2009). Diharapkan dengan harga yang terus membaik seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, pendapatan PT Timah juga akan terus meningkat. Cadangan dan Potensi Ekonomi Timah Nasional Berdasarkan informasi dari US Geological Survey 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah sekitar 800.000 sampai 900.000 ton. 

Dengan tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000 ton/tahun, atau setara dengan 90.000 ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut akan mampu bertahan sekitar 10 – 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017 – 2019. Pada harga rata-rata US$ 20.000/ton (diasumsikan sebagai harga rata-rata timah selama 8 tahun ke depan), sumber daya timah ini menyimpan potensi ekonomi dengan nilai sekitar US$ 18 miliar atau sekitar Rp 190 triliun.

Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi ekonomi tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB, pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel. Ketersediaan timah yang semakin menipis seharusnya diperhitungkan pemerintah pusat, khususnya Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat. Sebab, industri timah dengan tingkat produksi yang berlangsung 4–5 tahun belakangan ini, berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Babel. Di masa mendatang, tingkat produksi timah lambat laun pasti menurun. 

Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan timah habis. Jika industri timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak tersedia maka kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan pasti bertambah.  

Kita melihat bahwa cadangan timah Indonesia memang semakin menipis. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengamankan produksi, menyediakan cadangan nasional masa depan, sekaligus menggunakannya untuk mengendalikan harga. Salah satu yang penting adalah membatasi dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun, misalnya 75.000 ton per tahun. 

Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri. Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya timah dengan pengaturan regulasi. Misalnya, jalur ekspor harus dari satu pintu, yakni PT Timah yang telah ditunjuk sebagai BUMN yang menggarap sektor ini, termasuk mengembalikan eksplorasi hanya kepada PT Timah. Kemudian, PT Timah lebih fokus mengatur kuota produksi dan menghadapi persaingan produsen timah dari negara lain di pasar internasional. 

Penegakan hukum dan penerapan sanksi juga sangat penting untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam industri timah nasional. Indonesia kini merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di dunia, setelah Cina sebagai produsen terbesar pertama. Indonesia merupakan negara eksportir timah nomor satu di dunia, lebih dari 90% produksinya diekspor ke mancanegara.

Sedangkan Cina mengonsumsi hampir seluruh produksinya untuk kebutuhan domestik.

Cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar 11 juta ton (US Geological Survey, 2009). Jika dikomparasikan dengan empat negara-negara penghasil timah terbesar di dunia, cadangan timah Indonesia paling sedikit. Negara dengan cadangan terbesar adalah Cina sebanyak 3 juta ton, Brasil 2,5 juta ton, Peru 1 juta ton, dan Indonesia 0,9 juta ton Dalam konteks ini, pemerintah belum menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara dan reservasi atau pengamanan cadangan. Penambangan produksi timah dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan. 

PAD Babel Stagnan, Lingkungan Warisan Anak Cucu Jadi Taruhan

Aktivitas tambang timah -terutama illegal mining- merupakan penyumbang terbesar terjadinya deforestasi dan degradasi kawasan hutan dan lahan di Babel. WALHI Babel mencatat, Babel telah kehilangan lahan produktif seluas 320.760 hektar dalam waktu 10 tahun. Akibatnya, fungsi ekologis terus terganggu dan terancam keberlanjutannya. 

Babel rentan dengan bencana seperti banjir, kekeringan dan angin puting beliung sebagai akibat dari rusaknya kawasan hutan dan DAS yang merupakan wilayah resapan air dan sumber mata air tanah, hilangnya lahan produktif untuk sumber dan ketahanan pangan, kerusakan terumbu karang, mangrove,dan padang lamun di pesisir laut. Flora dan fauna endemik yang terancam punah, pun tanpa terkecuali merusak kearifan lokal masyarakat setempat. Bekas-bekas lubang tambang tidak dilakukan reklamasi dibiarkan menganga begitu saja, mengancam keselamatan jiwa dan tempat bersarang bagi nyamuk.

Jadi, fakta bahwa penambangan timah ilegal di Bangka Belitung telah merugikan negara bukanlah cerita baru. Pada 2016, Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat merilis data potensi kerugian negara dari ekspor timah ilegal. Hasil penghitungan itu dihimpun ICW dengan membandingkan data realisasi nilai ekspor timah jenis HS 8001 pada 2004-2015 dengan data yang tercatat di Kementerian Perdagangan.

Pada periode itu, ICW mendapati adanya kurang catat sebesar 389.678 ton ekspor timah. Dalam kajiannya, ICW menyebut bahwa jumlah kurang catat ini berasal dari ekspor timah secara ilegal. Potensi kerugian negara atas kasus kurang catat ekspor timah ini mencapai Rp 85,302 triliun. Nilai itu didapat dari kerugian kurang catat Rp 79,052 triliun serta pembayaran royalti dan pajak PPh Badan Rp 6,25 triliun.

Seharusnya Para Pelaku Penambangan Ilegal Harus Dikenakan Hukuman Maksimal

Sudah menjadi rahasia umum di Bangka Belitung bagi para praktisi-pemerhati ataupun penegak hukum di tanah Depati, bahwa para cukong timah yang kakap merupakan sosok yang sulit disentuh secara hukum. Walaupun sudah berderet-deret bukti nyata di meja pengadilan tapi pisau hukum terkadang majal dibuatnya. Tentunya bukan karena mereka adalah keturunan Brama Kumbara yang sakti mandraguna, namun lebih pada networking di belakang mereka. Yang diketahui selalu siap untuk menjungkalkan jabatan siapa saja yang merintangi target yang sudah ditetapkan. Apakah pembaca masih ingat kalimat satire : “Papa Minta Pulsa?”  Dalam kelindan kepentingan tambang emas Freeport di Papua sana. 

Yang dijungkalkan oleh oligarki tambang juga tidak main-main, jabatan prestise Ketua Dewan Yang Terhormat luluh lantak dikoyak-koyak oleh berbagai manuver lihai yang jika dilihat sekilas, adalah normal belaka. Dan pada akhirnya ketika sosok Ketua Dewan tadi berakhir di penjara Sukamiskin Bandung, barulah masyarakat sadar. Bahwa ada invisible hands yang dengan kemahiran level dewa mengatur rhythm serangan, kapan harus membuka ‘borok” sang Ketua, kapan sang Ketua harus berada di tataran protagonis sekaligus dengan dibantu media bergincu cepat memerankan tokoh antagonis. 

Drama kolosal yang sempurna serta melibatkan aktor yang diperankan oleh pejabat negara yang disumpah dengan kitab suci. Sangat patut diduga ini adalah skema false flag operation. Sewaktu atensi publik nengok ke kanan mereka gesit merampok di sebelah kiri. Saat kepala penonton dipaksa menengok ke kiri, sejurus kemudian mereka sedang asyik masyuk menggarong yang sisi kanan. Alhasil, ketika republik ini merayakan HUT nya yang se-abad di masa mendatang, mereka merayakannya dengan semu bin sumir. Tanpa jiwa cuma raga, tanpa makna hanya terpaksa. Dipaksa untuk jadi budak di rumahnya sendiri. Jahat dan kejam bukan? Penulis cuma sekedar curiga, ini adalah sutradara yang sama dengan panggung di Uighur sana. Pelan, penuh dengan drama, fabrikasi kebohongan yang dijejalkan media berhaluan kapital serta punya kepentingan dengan kata “Kolonisasi”.      

Rentetan kejadian yang mampu membuat syaraf penegak hukum jadi lunglai tak bertenaga yang dapat diingat disini misalnya. Kasus perambahan lahan sawit yang disulap jadi arena tambang ilegal di Desa Bakit Jebus Bangka Barat. Dimana salah satu keputusannya adalah menyita kebun sawit tadi untuk negara. Dan lagi-lagi fakta sesungguhnya bagaikan jauh panggang dari api. Mereka secara leluasa tetap lakukan praktek keji merampas, bekerja secara ilegal atas dasar kurangnya jumlah petugas lapangan. Kedua adalah, kasus penangkapan ratusan ton zirkon serta ribuan ton ilmenite di Pangkalpinang pada tahun 2019, Kasus SHP Timah di tahun 2020 yang selain mendudukkan bos timah AG juga celakanya menyeret beberapa oknum karyawan perusahan plat merah. Dengan sebuah modus baru yang bikin geleng kepala, mengoplos satu ton pasir timah kadar SN tinggi dengan 10-25 Ton pasir timah kadar rendah. Mirisnya lagi malah diklaim secara resmi sebagai bagian angka produksi BUMN negara.    

Dari deretan kasus tadi, memang para komandan lapangan dengan terpaksa harus mendekam selama beberapa tahun di dalam hotel prodeo, meski akhirnya setelah mereka bebas dan publik pun lupa dengan perbuatan mereka, banyak yang akhirnya kembali lagi masuk ke jajaran elit mafia tambang. Tentu dengan level kewaspadaan yang terpaksa ditingkatkan. Upeti atau koordinasi yang digencarkan, juga kerakusan yang dijunjung setinggi puncak everest.  

Akhirul kata, penulis bermimpi soal keberlanjutan ekosistem di Pulau Bangka sebagai ruang hidup bagi anak cucu kita semua. Bagaimana kita mampu memaksimalkan potensi sumber daya alam secara adil. Adil bagi siapa? Adil untuk masyarakat Bangka Belitung tentunya. Bukankah, berkah Allah Azza Wa Jalla memang diturunkan di tanah depati? So, wajar saja jika masyarakat Bangka Belitung mendapat porsi yang lebih dari kalkulasi sekarang. Mosok warga lainnya yang tidak tahu menahu soal rasanya direndam banjir manakala pulau Bangka diguyur hujan, tetiba dapat 70% hasil sumber daya alam di Pulau Bangka Belitung? Yang bener aja ferguso? Hehehe. 

Itu sih sama saja kalian menjajah saudara sendiri namanya. Jika akal dan hati kalian match. Atau klop. Pembagian yang mendekati adil seperti ini : dana bagi hasil untuk masyarakat Bangka belitung harusnya minimal 50%, selebihnya silahkan diatur dengan baik. Itulah tugas kalian orang pempus sana. Jangan jagonya cuma datang, dagu diangkat saat meninjau lokasi, pulang ke hotel terima fee plus oleh-oleh, selebihnya skema yang merugikan masyarakat asli Bangka Belitung tetap saja tidak berubah. Alias gitu lagi gitu lagi. Sedih gak tuh, sedih gak? Sedih lah. 

Makanya, jadi pemimpin yang adil itu bukan tugas yang ringan, bukan juga tugas yang mustahil. Sepanjang pemimpin tadi sadar, bahwa di suatu masa nanti di akhirat, raport kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Semoga kedepannya Bangka Belitung dianugerahi pemimpin yang mampu membela hajat hidup masyarakatnya, bukan sekedar duduk untuk kemudian dilupakan sejarah. Bukankah ada pepatah mengatakan : raja adil raja disembah raja lalim raja disanggah. Sekian. (***)

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Oleh : LH ~ wartawan  media online warta-one.com | disadur dari berbagai sumber. 

Tinggal di Pangkalpinang

 

Sign up for a newsletter today!

Want the best of NewsyFeed Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts

No Content Available