Sudut Pandang

Sistem Ijon : Kobarkan Syahwat Rakus Cukong Timah? 

JAKARTA – Sebelum kita masuk dalam artikel ini, sebaiknya kita samakan persepsi soal arti kata IJON. Menurut KBBI adalah: pembelian padi dan sebagainya sebelum masak dan diambil oleh pembeli sesudah masak. Sementara yang dimaksud dalam sistem ijon dalam dunia bisnis timah adalah, ketika seorang pemodal menanamkan modalnya dengan target uang pinjamannya tadi dibayar dengan menggunakan pasir timah dengan tonase tertentu sesuai harga pasaran terakhir pasir timah. 

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Bagian Barat. Tepatnya di Timur Pulau Swarna Dwipa. Selain dikenal dengan hamparan pantai berpasir putih nan indah, daerah ini selama ratusan tahun yang lalu, sudah diakui dunia sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya mineral timah, Minggu 19 Februari 2023.

penyedotan pasir timah di laut. Selain darat, para penambang juga asyik merangsek ekosistem laut.

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per Juli 2020, sumber daya timah nasional mencapai 10,05 miliar ton dan cadangan sebesar 6,81 miliar ton.

Sementara dari sisi produksi, berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, produksi logam timah pada 2020 mencapai 52.612,59 ton, atau sekitar 75% dari rencana produksi 2020 yang sebesar 70 ribu ton, seperti dilansir cnbc.

Dalam tata kelola niaga komoditas timah, merujuk pada Keputusan Menteri ESDM nomor 1806 K/30/MEM/2018 disebutkan bahwa salah satu persyaratan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) adalah dengan adanya validasi neraca cadangan pada suatu Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) oleh Competent Person.

Meski demikian, fakta di lapangan tidaklah seindah bayangan teori manajemen modern. Banyak kendala yang kadang jadi batu penghalang untuk mensejahterakan ekonomi masyarakat Babel. Jika yang dimaksud hanya untuk memenuhi kebutuhan primer-sekunder manusia pada umumnya, bisa disebut hal ini telah terpenuhi. Belakangan, disaat harga pasir timah naik melambung sampai 97% sepanjang 2021, warga Babel bahkan berlomba-lomba mengoyak lahan verboden seperti kawasan Hutan Lindung, Hutan Bakau dan daerah sempadan sungai. 

Ancaman Bencana Ekologis 

Bukan rahasia lagi, jika merujuk data yang dirilis oleh Walhi Babel, di Provinsi Kep. Bangka Belitung berdasarkan SK Menteri KLHK No. 357/Menhut-II/04, terdapat 657.510 hektar hutan, namun hanya tersisa 28% hutan yang dalam kondisi baik, sedangkan 60% lebih dalam kondisi sangat kritis dan kritis, dan 12% dalam kondisi rusak kritis.

Artinya, bencana ekologis seperti terjangan banjir bandang, genangan banjir rob dan musnahnya jenis hewan liar serta serangga penyangga ekosistem, jadi harga mahal yang dibayar tunai oleh Provinsi Kep. Bangka Belitung saat ini. Pada bulan Maret 2016 yang lalu, teguran pertama banjir besar yang merendam hampir seluruh kecamatan yang ada di Kota Pangkalpinang melanda, ketika itu curah hujan tinggi dan sistem drainase yang buruk jadi kambing hitam hampir seluruh pejabat lokal yang lakukan pembelaan diri. 

proses penambangan timah skala besar di daerah lubuk bangka tengah. (LH)

Padahal, masalahnya bukan curah hujan atau sistem drainase. Tapi menjamurnya lokasi penambangan liar di pintu keluar air di sekeliling Pangkalpinang. Pembenaran justru disahkan oleh beberapa media setempat yang tentunya sudah berkawan dengan nomenklatur APBD Pangkalpinang, alias dapat kerjasama iklan. Dan isi berita pun laksana jaman Orde Baru, serupa bin seragam. Berisikan mantra puja-puji pejabat yang faktanya gagal melindungi warganya dari rendaman air, sayangnya justru atensi warga dialihkan ke hal-hal non substansial.

Bagaimana Pangkalpinang tidak banjir, jika drainase di Pasar Pagi mampet? Wadah alami penahan air hujan ketika curah hujan tinggi, seperti Bukit Mangkol, Hulu Sungai Pedindang bahkan rusak dihajar keganasan tambang liar. Begitu air dari langit turun dengan deras ke bumi serumpun sebalai, mereka langsung mencari sasaran wilayah yang lebih rendah dari penahan air alami seperti Bukit Mangkol, Bukit Pao dan lain-lain. Akibatnya tentu warga mendapat “kado suksesnya pekerjaan” pemimpin mereka. Alias direndam air hampir setinggi leher orang dewasa. 

Penulis ingat betul, saat itu media televisi nasional seperti Metro TV membuat sebuah scene dramatis tentang penyelamatan warga terkena terjangan banjir di kawasan El John jalan Jenderal Sudirman. Nampak si nenek yang berusia lanjut dipegangi oleh beberapa relawan banjir untuk menyeberangi derasnya arus air yang merubah jalanan utama di Pangkalpinang laksana sebuah sungai di pedalaman Kalimantan. Berair coklat, arusnya juga deras.

Yang jadi pertanyaan, apakah mereka kelompok cukong timah pembabat habis HL-HP serta ekosistem lingkungan ketika banjir terjadi ikut merasakan penderitaan bersama warga? Atau setidaknya rumah dia ikut terendam banjir? Atau mengalami kerugian materi akibat efek banjir? Sayangnya, jawabannya tidak sama sekali. Mereka justru sedang berada di sebuah apartemen elite di Kuningan, Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading di Jakarta atau mungkin di negeri Jiran sana. Menonton berita kesengsaraan warga -akibat permainan lobi politik tingkat dewa yang membuat nasib warga Babel jadi taruhan- di sofa empuk, ditingkahi segelas bandrek hangat, kertas coret-coretan berisikan angka keuntungan rente, puluhan norek cantik milik jaringan koordinasi cukong lokal tadi, kalkulator dan tiga buah hape android menemani cukong timah menunggu malam tiba.

Mereka (cukong timah) ini selain menyedot harta kekayaan Babel, juga sesungguhnya cuma manusia-manusia pemburu rente. Hidup kaya raya diatas penderitaan warga umumnya, dengan cara harus merusak hutan, menjarah aset warga Babel berupa deposit pasir timah, dengan diduga kuat merekayasa IUP bersama oknum karyawan BUMN plat merah tamak duit. Setelah kongkalikong berupa surat perizinan dirasa lengkap, mereka melangkah ke item capital atau modal. Yang dengan jaringan overseas milik mereka, tentu akses tadi jauh lebih mudah ketimbang warga asli Bangka Belitung. Tapi jangan salah, mereka mendapatkan modal tadi serupa dengan menekan perjanjian dengan iblis. Sebabnya, Bohir Besar tadi tidak mau uangnya dikembalikan dengan uang lagi. Berapapun cuan bunganya, mereka mau dikembalikan dalam konsesi Pasir Timah. “You gua kasih modal 50 M, balikin ke gua pasir timah senilai 51 M dalam dua tahun, you sanggup apa tidak?” tekan Bohir Besar asal Singapura.

pasir timah sehabis digoreng dengan tungku tradisional di kawasan tanjung gunung (LH)

Penulis artikel ini, secara kebetulan pernah ikut negosiasi model itu ketika tidak sengaja ikut masuk dalam pusaran pergaulan high class bisnis pasir timah di rentang 2012 – 2014 yang lalu. Penyuplai info buat penulis, ternyata orang yang jadi jembatan antara Bohir Besar di Singapura dan tokoh lokal yang memiliki peran sebagai penunjuk lokasi deposit timah di Babel. Makanya, kadang heran juga melihat langkah para pebisnis timah yang selalu akurat dalam menentukan lokasi penambangan. Yang mereka pikirkan adalah, bagaimana caranya mengembalikan pinjaman Bohir berupa pasir timah sebelum tenggat waktu dua tahun. Urusan lingkungan, legal atau illegal, melanggar hukum atau tidak, ancaman pidana dalam UU, masuk semuanya dalam keranjang besar bertuliskan Bodo Amat. 

Malah ironisnya, dering telepon panggilan masuk si cukong lokal dirasakan jadi teror tersendiri, sebabnya, kadang permintaan pasir timah Bohir pemberi modal bisa Up dan Down. Dealnya 3 Ton per minggu, karena Bohir juga kacung dari Bossnya di LME yang jadi penghubung perusahaan teknologi gawai bermerk terkenal, mau tidak mau, suka tidak suka, bisa atau tidak, mereka menekan cukong lokal agar hutang modal tadi dilunasi dengan cepat. Kalau dibayar dengan uang, tentu cukong lokal tidak pusing 414 keliling. Sebenarnya disinilah jebakan betmen mereka, dengan mereka hanya menerima pembayaran dengan pasir timah maka proses selanjutnya bisa dikalkulasi. Kerusakan lingkungan makin meluas, aset daerah tergerus, ketahanan energi negara terdegradasi, sumber daya alam tak tergantikan diobral murah begitu saja. Dan paling parah adalah, Babel diprediksi akan jadi provinsi dengan daya saing rendah, karena sudah jor-joran mengumbar SDA-nya di dua puluh tahun pertama.

Saat yang sama, cukong lokal tadi makin buas bukan kepalang, kalau buaya kawin saja sih masih kalah ganas sama cukong yang terjerat sistem ijon. Sekarang mereka bukan lagi bermain aman dalam ranah IUP, tapi sadisnya lagi kadang mengakali beragam regulasi pemerintah pusat. Contoh yang bisa sedikit menggambarkan betapa kerasnya dunia bisnis timah adalah peristiwa pengiriman tin slag atau sisa pembakaran timah kemarin, dari Pulau Belitung ke Pelabuhan Pangkalbalam Pulau Bangka. 

Walau dibela mati-matian oleh berbagai kalangan dan profesi, tapi tak urung ada setidaknya empat pertanyaan media yang tidak mampu dijawab, bahkan oleh seorang pejabat Humas BUMN tersebut. Pertanyaan publik yang muncul adalah menyoal : Pertama, soal kelengkapan izin amdal, kedua soal asal usul barang, yang ketiga lokasi smelter yang dipilih, dan keempat hasil peleburan tin slag ini akan dicatat sebagai data ekspor atau ada hal lainnya? Seluruhnya cuma dijawab sekenanya saja, dengan dalil Omnibus Law.

Oligarki Timah di Bangka Belitung Disinyalir Mampu Mengatur Arus Informasi Publik

Cukup seru langit jurnalistik Bangka Belitung ketika itu, jelas terlihat mana kelompok yang sudah mendapat “siraman hujan” lantas menarik selimutnya untuk meneruskan ngoroknya yang akan sangat nyenyak. Dan ada juga kelompok idealis yang berdarah- darah mengejar bandit terhormat yang coba lakukan patgulipat dengan oknum, demi menyiasati peraturan. Oligarki timah ini bukan saja lihai, tapi seperti memiliki tujuh belas nyawa serep, kebal. Mereka tentunya sudah mapping siapa saja wartawan yang kritis dan perlu diberi gula-gula lebih banyak, serta kelompok mana yang bisa jadi pion untuk diadu. Licik.

Biasanya mudah ditandai dari jejeran artikelnya. Kalau peluru pertama, kedua sangat tajam, trengginas serta bisa menggiring kelompok yang dibidik ke jerat pidana. Namun bungkam seperti kura-kura ditimpuk batu (pura-pura tidak tahu) setelah bertemu “utusan” boss timah yang membawa “pesan” berupa request nomor rekening oknum media. Dipastikan angka yang digelontorkan cukup besar. Hal ini diungkap ke publik berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang senyum-senyum saja ketika melihat ada beberapa rekan yang harus “dikerokin” badannya karena mendadak “masuk angin”.  

Ada baiknya kita sempatkan bertanya, Bangka Belitung dapat apa dari praktek simsalabim seperti itu? PAD dapat gak? Dicatat sebagai ekspor Babel gak? Terus kenapa mereka terkesan seperti orang yang tidak mau diganggu oleh media? Bahkan isu miring soal hujan musiman yang “mengguyur” beberapa teman media di Belitung juga sampai ke kami, tapi kami tak tanggapi. Karena ini adalah sebuah pola, yang menggambarkan kepanikan seorang cukong lokal ketika argo-nya sudah mendekati injury time. Tonase pasir timah buat bayar sistem ijon kurang ratusan ton, razia polisi menjadi-jadi, kalender sudah menyentuh bulan terakhir tahun berjalan. Regulasi juga kurang berpihak pada mereka, alhasil mereka ambil jurus terakhir, nekat. 

Dalam pepatah kuno di tiongkok, ada frasa kalimat seperti ini : “Diri sendiri yang berbuat, maka diri sendiri pula yang menerima.” Arti harfiahnya lebih kurang adalah : Jika cukong timah tadi punya hutang pada Bigboss di Singapore, tentu boss timah lokal tadi lah yang harus menepati untuk membayarnya. 

Maka dengan bekal dikejar setoran timah tadi. Mulailah jurus pamungkas cukong timah lokal diterjemahkan. Jaringan cukong timah pun dibentuk. Mulai dari tokoh masyarakat, tokoh agama, Ormas LSM, Media, beberapa gelintir oknum aparat dari institusi tertentu, dan bisik-bisik juga menyebutkan adanya peran oknum perusahaan plat merah atau PT Timah. Masa lupa dengan kasus timah SHP Agat Cs? Faktanya kan terungkap, setidaknya  empat karyawan jadi pesakitan dicecar pertanyaan hakim di pengadilan. Mulai kawasan Teluk Kelabat Dalam, Bakik, Penyusuk, Laut Kianak, Tanjung Batu, perairan Sungailiat, Jelitik, Sampur, Laut Padang, kemudian ke arah sisi timur pulau bangka ada Simpang Teritip, Laut Permis, Belo laut merupakan nama-nama daerah dimana kalau diperhatikan dengan jeli, aliran pasir timahnya nyetor ke dua atau tiga tauke timah yang itu-itu saja. Jika dikerucutkan lagi sebenarnya akan gampang terendus siapa penyandang logistik program penggerusan aset dan perusakan lingkungan secara masif dan terstruktur. 

Sudah Tahu apa Belum? Di Bangka Belitung Inilah Tersimpan Harta Karun Untuk Generasi Mendatang 

Rentetan peristiwa lainnya juga menyisakan asap pertanyaan tak kunjung reda. Karena, selain pasir timah, ada juga komoditi rare earth atau tanah jarang. Sebuah sumber daya alam yang bisa dikemas sebagai energi terbarukan. Anehnya, cuma negeri Cina saja yang punya lisensi dari teknologi pengolahan rare earth. Bukankah mereka juga punya SDA Timah? Kok teknologi pengolahan dipatenkan? Kenapa? 

Penggunaan Rare Earth sangat bervariasi yaitu dapat digunakan pada energi nuklir, kimia, katalis, elektronik, paduan logam, dan optik.

Rare earth ini terselubungi oleh bahan galian lain bernama Zircon. Yang juga memiliki kapasitas lain, yakni sebagai konduktor dan bahan baku pembuatan keramik. Vital dalam tataran proyek pembangkit tenaga listrik. Dan jika sudah berada di luar Indonesia, harganya bisa berkali-kali lipat harga aslinya disini. Beberapa pengusaha lokal setempat bahkan jadi orang kaya akibat rajin menyuplai pabrikan di Cina sana dengan bahan baku mentah dari Bumi Serumpun Sebalai. Ironis. 

rare earth element (ist)

Singkat kata, tak ada yang kurang dari negeri Laskar Pelangi ini. Hanya saja, jika kita bahas soal pemimpinnya, sudah barang tentu diperlukan kapasitas seorang pemimpin dengan karakter petarung, bukan karakter pencari aman semata. Bukankah saat ini dunia teknologi sedang berkembang dengan pesat? Di titik itulah sebenarnya Bangka Belitung memiliki kesempatan menjadi “Brunei” kedua di Asia Tenggara. Katakan dengan lantang pada Jakarta, pada Dunia. Babel ingin harga timah dunia (misalnya) 1,2 juta per kilogram nya. Take it or Leave it. Salah satu dari kalian pasti butuh, dan jalin kerjasama. Walau beberapa yang lainnya ambil opsi bermitra dengan negara penghasil timah lainnya. Tapi, setidaknya mereka tahu, seorang putra asli Bangka Belitung peduli soal SDA timahnya. 

Ditambah jumlah penduduknya cuma kisaran ±3 juta orang, PAD nya terdiri dari : Pasi Timah, Zircon, ilmenite, rare earth dan bentangan pantai putih berair biru sebagai alternatif destinasi wisata di Indonesia.

Atau mudahnya, bagaimana caranya seorang pemimpin daerah mampu meminimalisir gap harga timah dunia dan harga timah di pasaran lokal. Karena, hitungan biaya mereka mengambil saat ini dipastikan UNTUNG, akibat tidak tegasnya melaksanakan kewajiban reklamasi lahan pasca ditambang. Kalaupun sudah, kemana simpanan dana jaminan reklamasi Bangka Belitung selama ini? Bukankah sudah ada ribuan izin yang keluar? Kita andai-andai saja, jika misalnya ada sebanyak 2000 izin pertambangan yang sudah resmi tercatat. Seharusnya dapat dihitung : berapa angka profitya, berapa kas daerah bertambah, berapa dana jaminan reklamasi nya, berapa pajak daerah? Berapa pajak alat berat? Berapa jumlah cadangan deposit timah yang belum dilakukan eksplorasi, berapa yang sudah? 

Kalau runutan pertanyaan diatas dijawab itu semua sudah ada datanya, kenapa saya yang sudah 10 tahun tinggal di Bangka Belitung kok tidak melihat adanya perubahan secara signifikan buat perbaikan lingkungan, taraf ekonomi rakyat dan daya saing masyarakat Babel masih minim jika dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Lantas, kenapa setiap laporan akhir tahun perusahaan plat merah BUMN sering mengklaim rugi? Kalau rugi kok caranya masih sama saja? Tidak mau dirubah, ada apa? Kondisi yang sekarang jelas sangat menguntungkan segelintir saja masyarakat Bangka Belitung. Seorang pemimpin harus mampu merubahnya bukan sekedar berjalan mengiringinya agar selamat di tujuan. 

Di tangan seorang pemimpin yang pintar dan bernyali, pasukan paling hancur sekalipun akan mampu memetik kemenangan. Sebaliknya, ditangan pemimpin bodoh, pasukan terbaik pun akan tunggang langgang berantakan.(*) 

Sekian.

Oleh : Lukman Hakim / Wartawan

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Sign up for a newsletter today!

Want the best of NewsyFeed Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts

No Content Available