Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan di kawasan hutan yang tidak dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Ancaman hukum pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
Selama ini pelaku kejahatan lingkungan hanya dijerat dengan satu pasal perusak lingkungan dengan hukuman ringan. Pasal pencucian uang bahkan nyaris tak pernah dipakai meskipun kejahatan tersebut jelas masuk dalam kejahatan yang menghasilkan nilai ekonomi besar.
Pasal 78 Ayat 5 Jo. Pasal 50 Ayat 3 Huruf e Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Selain itu, Pasal 40 Ayat 1 Jo. Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Jo. Pasal 55 Ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Menindak tegas Pelaku Kejahatan Lingkungan Hidup dan Kehutaan dan akan ditindak dengan pasal pidana berlapis, baik menggunakan Undang-Undang tentang Kehutanan maupun Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”) mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (“IPPKH”) dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan di tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. undangan.
Dengan Pasal 98 atau Pasal 99 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP atas perbuatannya yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan peraturan-undangan (pendekatan undang-undang), pendekatan kontekstual (pendekatan konsep), dan pendekatan kasus (pendekatan kasus), dengan bahan hukum primer dan sekunder dengan teknik analisis pengkajian preskriptif.