Pemerintah terus berupaya mendorong nilai tambah dan pemanfaatan sampah perkotaan sebagai sumber energi terbarukan untuk pemenuhan pasokan energi nasional serta turut mendukung transisi energi dan mencapai target National Determined Contributions (NDC) Indonesia.
“Waste-to-Energy merupakan upaya mengatasi permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah, bukan masalah energi. Energi yang dihasilkan dianggap sebagai bonus. Untuk kewenangan pengelolaan sampah, termasuk pengolahan sampah menjadi energi, berada di tingkat kota/kabupaten.
“Program cofiring ini akan meningkatkan bauran EBT sekitar 1,8% melalui substitusi sebagian batubara dengan biomassa sampai dengan kurang lebih 10%,”
Pada 2025, kebutuhan biomassa untuk cofiring diperkirakan sekitar 10,2 juta ton/tahun dan implementasi cofiring ini akan memberikan dampak terhadap penurunan emisi karbon sekitar 11 juta ton CO2.
Secara umum, mekanisme konversi sampah plastik menjadi BBM adalah dengan menggunakan metode pirolisis, yaitu memanaskan plastik pada suhu di atas 4.000C tanpa oksigen. Pada suhu tersebut, plastik akan meleleh dan kemudian berubah menjadi gas. Pada saat proses tersebut, rantai panjang hidrokarbon akan terpotong menjadi rantai pendek.
Proses selanjutnya adalah pendinginan yang dilakukan pada gas tersebut sehingga gas akan mengalami kondensasi dan membentuk cairan. Cairan inilah yang nantinya menjadi bahan bakar, baik berupa bensin maupun bahan bakar diesel.
Mesin yang digunakan untuk mengelola plastik menjadi BBM terbagi menjadi dua bagian yang dihubungkan dengan sebuah pipa di tengahnya. Untuk mengoperasikan mesin yang dinamakan MD Plast itu, diperlukan 15 kilogram sampah plastik padat atau 20 kilogram yang diletakkan di dalam tabung reaktor. Tampak tabung reaktor semacam wadah besi berbentuk kotak yang bisa langsung diisikan oleh sampah plastik. Setelah sampah plastik siap, tabung reaktor ditaruh di atas kompor yang berada di ujung sebelah kanan mesin. Proses pembakaran sampah plastik berlangsung kurang lebih empat jam.
Setelah itu, uap hasil pembakaran sampah plastik akan diteruskan melalui pipa pendingin dan uap mengalami proses penyubliman sehingga berubah menjadi zat cair. Zat cair itulah yang menjadi minyak mentah, cikal bakal dari bahan bakar minyak. Saat sudah mencapai tahap menjadi zat cair, akan ada proses pemanasan lagi yang dilakukan untuk membuat apakah minyak mentah itu akan menjadi minyak tanah, bensin, atau solar. Proses pemisahan partikel minyak itu dibagi ke tiga slot, dengan hasil akhirnya dikeluarkan melalui keran yang berjumlah tiga di tiap slotnya. Dari sampah plastik yang ditaruh penuh di dalam tabung reaktor, bisa menghasilkan 800 mililiter atau 0,8 liter BBM sintetis.
Pemerintah telah mengupayakan beberapa peraturan sebagai payung hukum untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga sampah. “Diantaranya itu ada Undang-undang tentang Energi nomor 30 tahun 2007, yang menjadi payung kita dalam pengembangan EBT. Kemudian juga sudah ada Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, kemudian ada Peraturan Pemerintah nomor 79 tentang KEN, dimana target kita meningkatkan kontribusi dari EBT, salah satunya dari Bioenergi. Kemudian kita juga sudah mempunyai Peraturan Pemerintah terkait dengan proyek strategis nasional.(pjl)