caption foto : penangkapan otak intelektual perambah hutan TN Tesso Nillo. Akankah Kades Kotawaringin Bernasib Sama Sebagai Pesakitan?
Pangkalpinang —- Setelah abstain selama hampir dua minggu lamanya. Proses penyidikan kasus dugaan perambahan hutan di desa Kotawaringin kabupaten Bangka Provinsi Kep Bangka Belitung yang oleh sumber redaksi di sebuah NGO dikatakan sudah jelas melanggar UU 18/2013 tentang Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pada akhirnya perlahan mulai terkuak apa yang selama ini membuat kasus seolah jalan di tempat, Rabu 22 Februari 2023.
Sumber kami di Dinas LHK Pemprov Bangka Belitung akhirnya memberi sedikit bocoran terkait proses pemeriksaan Kades Kotawaringin, dan KTH Cahaya Mandiri. “Belum, masih proses verifikasi data dan penjadwalan. Secepatnya akan kami infokan,” sebut sumber.
Meski begitu, pihak Kades dan KTH Cahaya Mandiri jangan lompat kegirangan dulu karena jadwal pemeriksaan di-arrange ulang. Sebab, sumber mengatakan bahwa indikasi pelanggaran dari UU 18/2013 tentang P3 serta aturan turunannya secara marathon sedang diselidiki oleh pihak petugas. “Terutama terkait pelanggaran dan ketidaksesuaian dalam RKT atau ijin yang diberikan. Apalagi (infonya) ada perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan,” pungkas sumber.
Dalam makalah yang berjudul “Problematika Hukum Penerapan Ketentuan Percepatan Penyelesaian Kasus Perambahan Hutan di Wilayah Provinsi Riau bulan Desember tahun 2021” yang ditulis oleh Yeni Elviani. Disebutkan bahwa, pada tahun 2018 dari 8 kasus perambahan hutan yang berhasil disidik oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), hanya satu berkas saja yang berhasil disidangkan di pengadilan setempat. Sementara tahun berikutnya, dari tiga kasus yang disidik berhasil dilengkapi sebanyak dua berkas.
Hal Ini semata-mata karena masalah PPNS seringkali melewati tenggat waktu sepanjang 90 hari yang disediakan oleh regulasi negara. Meski telah maksimal berusaha melengkapi berkas penyidikan kasus tadi, kebanyakan malah gugur ketika menit-menit akhir waktu atau injury time.
Padahal, kalau memang para penyidik PPNS belum dapat melengkapi berkas-berkas penyidikan di tenggat waktu yang ada, maka kondisi ini sudah diatur dalam pasal 39 b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013. Yang berbunyi, “Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.”
Ketentuan ini seharusnya jadi dasar pijakan bagi penyidik untuk terus memompa adrenalin penyidikan yang berujung soal endurance PPNS jadi maksimal. Selain hal itu, kondisi ini membuat jelas bahwa penuntut umum wajib melanjutkan penyidikan sampai dengan selesai. Walaupun dalam kenyataannya banyak kasus perambahan hutan di berbagai pelosok Indonesia, pihak penuntut umum seperti enggan melanjutkan penyidikan sehingga kasus tersebut tidak memiliki kepastian hukum.
Banyak faktor yang ditengarai jadi penyebab matinya motivasi, integritas, dan sumpah para penyidik PPNS tersebut. Salah satunya adalah banyaknya pihak saksi yang dimintai keterangan yang berakibat molornya waktu pemeriksaan hingga melewati masa 90 hari.
Sebagai pelengkap informasi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 pasal 92 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan sudah jelas mengatur : Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta dipidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Sementara jika yang melakukan perambahan adalah pihak Korporasi, maka definisinya adalah sebagai berikut : melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf a Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (LH)