Sudut Pandang

Laporan Investigasi Media : Begini Cara Kerja Mafia Tanah Mengakali Aturan  

Pangkalpinang — Praktek perusakan hutan, terutama pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan -terutama sawit- tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, selain tentunya merampas warisan negara bagi generasi anak bangsa. Meskipun, fakta yang terpampang di depan mata adalah makin masifnya para spekulan tanah memporak-porandakan kawasan yang sebenarnya terlarang, Sabtu 28 Januari 2023. 

Seperti yang terjadi di desa Kotawaringin kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung, yang secara kasat mata telah memperlihatkan bagaimana skema ala “tiki-taka” mampu menyulap sebuah kawasan Hutan Lindung, jadi perkebunan sawit. 

Artikel ini sedikit banyaknya, coba menguak tabir gelap mengapa para Kepala Desa di berbagai pelosok negeri ini kerap jadi pesakitan dalam sidang tuntutan di sebuah pengadilan. Baik itu kasus dana desa, dana bansos, ataupun jual beli lahan yang terhampar luas di wilayahnya. 

Peran sentral Kepala Desa adalah Pintu Masuk bagi Pemodal

Tidak dapat dipungkiri, peristiwa jual beli lahan, alih fungsi lahan, penerbitan sertifikat ganda,  tentu terjadi setelah tengkulak lahan memastikan, bahwa lahan desa yang akan dijarahnya tadi “bisa” berubah. Baik status maupun kepemilikan. Awalnya mungkin sederhana, seorang tokoh masyarakat sebuah desa yang mendapat kepercayaan dari warganya, kemudian maju dalam sebuah kontestasi bernama Pilkades. 

Pada fase inilah pihak pemodal mendapatkan pintu masuk yang empuk. Mengapa begitu? Sebab, seperti sama-sama diketahui, untuk dapat ikut dalam sebuah ajang pertarungan politik -walau kelas desa- tentu butuh biaya logistik yang tidak kecil. Bahkan infonya bisa mencapai belasan miliar rupiah, untuk seorang kandidat kuat yang sudah menguasai lebih dari 50% suara masyarakat setempat. 

Angka belasan miliar rupiah ini akan segera menipis ketika masuk masa pencoblosan. Ditambah logistik untuk para “wasit” yang dipastikan sudah mencium aroma money politics tadi, namun ajaibnya bukan disergap dengan aturan malah ikut cawe-cawe menikmatinya. 

Dengan begitu, jika seorang calon Kades diyakini oleh pemodal tadi memang adalah sosok kuat yang akan mampu menuruti kehendak korporasi. Biasanya pemodal tersebut serta merta akan mendekati dengan berbagai cara. Dan tujuan akhirnya adalah “menawarkan” pinjaman lunak berupa dana logistik untuk bertarung dalam kontestasi Pilkades tadi.  

Setelah keduanya kemudian sepakat dengan term of agreement yang dikukuhkan di atas kertas bermaterai sebagai jaminan.  Maka perusakan ekosistem lingkungan hidup pun masuk episode selanjutnya. 

KTW Adalah Sebuah Contoh, Betapa Oligarki Kuat Mencengkeram Negeri

Satu atau dua tahun pertama Kades menjabat mungkin si pemodal belum muncul batang hidungnya di Kantor Desa yang kini telah secara sah ditempati oleh jagoan pemodal tersebut. Sambil terus menikmati manisnya berkuasa, Kades tadi terus dikontak untuk melakukan tugasnya seperti biasa. Menginjak tahun kelima atau di ujung kekuasaannya, barulah pemodal tadi muncul di Kantor Kades. 

Kedatangannya kali ini tidak seperti biasa, pemodal tadi datang dikawal dengan orang-orang pusat -sebagian membawa investor asing untuk memberi pesan kuat bahwa daerah ini potensial- berkunjung ke kantor Kades tadi. Setelah satu dua kalimat basa-basi diucapkan pemodal, akhirnya janji Kades tadi ditagih, kali ini dengan nama “investasi”. 

Ditolak takkan mungkin, karena Kades tadi sudah dalam posisi tawar yang lemah. Diterima, Kades pun mengerti dirinya akan mendapat hujan protes dari warganya, dan hardikan atasannya langsung yakni, Bupati. 

Dan disinilah kerakusan para oligarch mulai secara terang-terangan menampakan wujud aslinya. Tiap jengkal wilayah di desa tersebut ternyata sudah dipetakan oleh mereka lewat peta satelit, apa saja potensinya, apa isi kandungan tanahnya, apa yang dipendam dalam perut gunung -seperti PT GNI di Morowali- atau berapa tahun deposit sumber daya alam yang akan dikeruk habis oleh kelompok mereka. Apakah sesuai dengan nilai investasi yang mereka tanamkan? Belum lagi soal performance Kades sendiri yang tentunya bisa dikalkulasi dari cara Kades meminimalisir tiap friksi yang timbul di daerahnya. 

Dalam scope yang lebih luas, di sinopsis Film No Escape (2015), dikisahkan bahwa tokoh antagonis Hammond -diperankan oleh aktor watak Pierce Brosnan- dalam salah satu script skenario menjelaskan bahwa dirinya dan Kenny bekerja pada pemerintah Inggris. Dia dan agen lain berbicara dengan pemerintah sebelumnya untuk dapat membuat kesepakatan dengan perusahaan Cardiff. Sebab, dengan adanya investasi yang masuk ke daerah tersebut memungkinkan perusahaan pada akhirnya laksana punya pemerintahan sendiri dalam salah satu negara di belahan dunia ketiga melalui utang/investasi.

Adanya kesan Gold-Glory Gospel sebagian bangsa Eropa yang belum pudar pasca merdeka nya Asia dan Afrika, diperkuat lagi dengan scene dialog Hammond yang bercerita sembari berkelakar pada kawan sebangsanya Jack. bahwa dirinya dan Jack sebenarnya memiliki tujuan yang sama. 

Iya negara kita maksudku, kita kasih mereka kesepakatan berisi hutang yang kita tahu mereka takkan mampu membayarnya, kita kasih program bantuan sosial seperti sanitasi yang korporasi kerjakan, dan ini adalah pekerjaan kotor,” ucap hammond sambil menyulut cerutunya.

Penggalan dialog tadi jika dengan seksama kita baca dan pahami dengan dalam. Sebenarnya sedang dilakukan dengan irisan lebih kecil dan rumit. Ada warga desa memiliki lahan yang terbentang luas, tapi sertifikatnya sudah dimiliki secara sah oleh para investor asing. Ada sumber daya alam melimpah, namun bangsa ini dipekerjakan di tempat-tempat yang tidak menentukan. Ataupun kalau sama, dipastikan akan jomplang salary mereka. Supir pribumi cuma dihargai tiga juta rupiah sebulan. Sementara di posisi yang sama namun diduduki orang asing justru bernilai hampir 20 juta lebih per bulannya. Tapi pembaca tak usah khawatir, kejadian itu tentu bukan terjadi di negara kita. Kan itu cuma digambarkan dalam film No Escape tadi. 

Apel pasukan gabungan saat mencegah konflik horozontal di mendo barat Bangka Prov Bangka Belitung. (ist)

Kenapa “Investor” Senang Dengan Lahan di Pesisir Pantai Sebuah Negara? 

Di bulan Februari tahun 2019 yang lalu, penulis melakukan investigasi atas laporan beberapa warga yang khawatir, bahwa tanah adat peninggalan leluhur mereka pada akhirnya lenyap tak berbekas. Alias berpindah tangan ke -saat itu- investor perusahaan sawit yang menurut bisik-bisik akan menanamkan modalnya berupa pembukaan lahan dengan nilai plusnya membangun pabrik olahan sawit disitu. Terdengar merdu dan indah bagi sebuah daerah yang terletak terpencil jauh dari hingar bingar pat gulipat ala sindikat pemangsa lahan. Setelah mendapat “restu” dari “Tumenggung” atau Bupati setempat melalui SK Bupati, investor kemudian langsung merangsek masuk ke jantung utama sebuah wilayah, yakni desa. 

Bisa diperkirakan ketika rombongan investor tadi datang dengan barisan mobil berharga diatas 500 jutaan, lazimnya warga desa maka akan beramai-ramai keluar rumahnya masing-masing. Persis saat menonton pawai 17-an. Dalam pertemuan yang membahas beberapa poin penting seperti nilai investasi, legalitas perizinan serta kelihaian sosok Kades setempat, investor tiba dalam sebuah kesimpulan. Kades harus didampingi oleh orang kepercayaan boss investor tersebut. Untuk memuluskan rencananya, maka di-rekrutlah pemuda-pemuda setempat hasil dari bisikan Kades. Tugas mereka cuma satu, yakni membuat warga yang punya tanah disitu secara sukarela menjual lahannya ke investor. Tentu ada pusaran uang disini. Konon jumlahnya mencapai belasan miliar seperti pengakuan kuasa lapangan yang berhasil diwawancara oleh media. 

“Cuma kita gak mau nelanjangi pak kades bai, tanya kek die pernah dag ketemu kek bos?” Ada saksi waktu saya menyerahkan uang ratusan juta untuk fee dari seluruh transaksi lahan di Mendo. Kami bertemu di kantor desa, tapi sampai saat ini surat belum keluar,” ungkap Az Abd, kuasa lapangan dalam sebuah artikel di media siber.

Dalam investigasi di medio Februari sampai April 2019 tersebut. Media mengendus adanya dugaan pihak makelar melakukan trik sederhana dengan mengundang warga yang memiliki lahan di koordinat yang sama yang dibidik investor untuk menjualnya dengan harga berlipat kali lebih tinggi dari harga njop yang ada. Kadang esoknya tema acara dirubah semacam bansos dari perusahaan, agar brand awareness dapat, juga tidak diselidiki oleh nalar yang kritis. Namun ternyata, pihak makelar tidak mau angka profit mark up lahan warga yang sedikit lagi dinikmati, malah ambyar karena si bos keseringan bansos. Mereka putar akal dengan berbagai siasat. Salah satunya dengan mendata warga yang kesulitan ekonomi dikreasikan jadi pemilik lahan. Sudah pemiliknya siluman, lahan yang diklaim tadi karena makin besar atau dijual berkali-kali, perlahan masuk kawasan HL, HP, atau Hutan konservasi.  

Saat di Februari 2019 tadi -berdasarkan pengakuan warga- adalah dengan membawa KK dan e-ktp warga tersebut didaftarkan sebagai bagian dari warga yang sukarela menjual lahan. Cakep kan bestie? Dengan pola seperti ini, nilai investasi pihak pemodal akan membumbung tinggi dan riskan dibargain meluasnya lahan investor. Di sisi lain, efek meluasnya lahan yang diperoleh investor justru makin menjerat leher Kades dalam kontrak politik. Sejurus kemudian, akibat satu lahan bisa diaku oleh dua sampai empat KK dan e-ktp yang berlainan, bulan berikutnya ketika proses legal sertifikasi lahan akan dikerjakan oleh instansi lainnya, mulai timbul kekacauan demi kekacuan menjurus kearah friksi sosial terjadi di desa yang dulunya adem tentram tenang dan sunyi. Seorang paman bersitegang dengan ponakan-nya, sepupu dengan sepupu yang lain baku teriak di tengah jalan desa akibat aksi tipu-tipu para bandit makelar lokal yang haus dengan uang haram. 

Hasilnya, Pemda Bangka, BPN kab Bangka, dan kecamatan buru-buru turun tangan menengahi situasi panas di tahun politik tersebut. Setelah mendapat arahan pusat, akhirnya dilakukanlah moratorium antara tiga pihak : investor A – Investor B – dan warga desa. Sampai saat jni, moratorium tadi masih berlangsung, entah sampai kapan. Namun yang pasti, pantauan terakhir mengatakan sebagian lahan desa tetap pindah tangan ke pembeli lain, buah karya oknum warga setempat yang dilabeli dengan sebutan Makelar Tanah. 

Salah satu lahan sengketa di desa mendo tahun 2019 (ist)

Ada benang merah yang dapat ditarik dari kejadian di desa Mendo  Februari 2019 dengan desa Kotawaringin Januari 2023 sekarang. 

Pertama, pihak investor sebelumnya sudah punya data awal soal karakter warga desa pada umumnya. Siapa pentolannya disitu, jika calon Kades ini oposisi dari Kades petahana, maka petahana akan dibikin limbung dengan serangan fitnah mematikan karakter dan nama baiknya. Dengan begitu, korporasi sangat tahu langkah awalnya seperti apa, saat menari diatas aturan negara harus bagaimana, ketika sudah masuk tahap finishing mesti apa. Bayangkan saja, -menurut sumber penulis- ada sekitar hampir 10 ribu hektare yang akhirnya ditulis di sertifikat dengan pemilik bernama asing. Investor pun seperti tak punya celah, dibilang merampas lahan warga. Toh buktinya mereka punya surat legal dari BPN disana. Disebut mengadu domba warga, nihil bukti mereka memprovokasi warga desa di lapangan. Dikatakan mereka merampas, faktanya ada sejumlah uang besar yang sudah ludes ditelan oleh jin tamak berjuluk makelar tanah. 

Kedua, ada pola yang tergambar jelas dari pergerakan mafia tanah di pesisir timur pulau Bangka. Mulai dari pemilihan lokasi, momentum yang biasanya sebulan atau jelang Pilkades. Tahapan lainnya ialah, membaca karakter pejabat mana yang sesuai dengan pepatah : sepanjang ayam masih doyan beras, maka…. , Look hingga finishing investasi yang tentunya berakhir di tiap kantor BPN setempat. Dengan mengambil tenaga informan lokal, tentu mendapat dua keuntungan sekaligus. Selain aman dari infiltrasi pesaing, korporasi juga mendapatkan harga per hektare jauh dibawah pasaran. Tenaga informan yang kalau saja hidup di zaman kolonialisme mereka sering disebut sebagai anjing kompeni. Karena rela menjual nyawa saudara sebangsa serta tanah airnya. Setelah menguasai lini makelar dengan dipancing seonggok tulang berupa fee dari tiap hektare lahan yang dijual, mereka juga diberi pesan khusus berupa skenario politik belah bambu. Atau membuat polarisasi di tengah masyarakat. 

Dalam contoh kasus di desa Mendo Barat pada tahun 2019 yang lalu. Makelar tanah ini secara sengaja melakukan show off di segi life style mereka. Dari tadinya cuma punya motor butut dengan asap knalpot menyembur kencang, sekarang mereka tampil bak pria kekinian. Motor mengkilap dengan tahun keluaran terbaru, stelan modis berupa kaos bermerk dan jeans denim merk mentereng. Tak lupa parfum merk termahal mewangi sekujur tubuhnya. Dengan tampilan necis seperti itu, tentu membuat warga jadi terbelah. Yang mendukung investasi, akan mengamini pamer hasil jual lahan desa tadi. Yang menolak, akan bimbang berhari-hari, karena nafsu duniawi-nya mendorong- dorong dirinya untuk ikut serta menjual lahan desa.

dokimen moratoriun April 2019. (Ist)
Dokumen moratorium (ist)

Setelah momentumnya dinilai cukup. Barulah Capo kelompok tadi muncul di tengah-tengah warga bak seorang messiah penyelamat keadaan di desa yang sedang meruncing tersebut. Perangkat daerah setempat juga hadir seolah mengukuhkan betapa berkuasanya modal dalam struktur ekonomi kapitalistik. Saat peristiwa di pesisir timur Pulau Bangka (desa mendo) tadi, dalam catatan penulis ada dua korporasi yang berkompetisi merebut lahan disitu dari warga desa. Sebut saja PT. A dan PT. B. Keduanya pakai skema yang mirip. Jika A memakai aparat yang itu, yang B pakai yang ini. Kalau A langsung mencengkeram pucuk pimpinan kabupaten, B tak mau kalah melobi atasan petinggi kabupaten.

Alhasil, suasana desa mendo yang biasanya tenang, sepi lagi tenteram. Berubah jadi mencekam, saling curiga satu sama lain ada di kubu yang mana, seraya kehilangan lahan mereka warisan turun temurun. Kejadian mencekam sepanjang bulan Februari sampai dengan Maret 2019 tadi terekam dalam wawancara dengan salah seorang warga desa yang meminta agar namanya dirahasiakan karena sumber mengaku, dalam keluarga besarnya saja sudah terbelah jadi dua kubu. 

Demo dua hari berturut-turut (3&4 november 2019) di kantor Bupati Bangka. (ist)

“Iya memang pagi ini ada mediasi pak, warga empat dusun akan bertemu dengan para terduga oknum makelar tanah. Dimediasi oleh pihak kepolisian (Polsek Mendo Barat). Dengan agenda, warga menuntut lahan desa dikembalikan pada peruntukannya. Tapi semalam, setelah berita di media bapak viral, saya mendapatkan tekanan secara lisan dari salah satu makelar tanah pak,” kata warga lewat sambungan telepon yang diterima oleh redaksi, Senin pagi 11/02/2019. 

Berita yang memuat soal fakta lapangan seperti ini tentu tidak disukai oleh para dalang oligarki sawit yang -saat itu- nyata berada dalam potensi konflik horizonral yang mencengkeram desa mendo. Walau pada April 2019 eskalasi suhu pertikaian antar kubu mampu diredam dengan terbitnya moratorium, namun benturan sosial antar warga masih beruntun terjadi hingga awal tahun 2020. 

Selanjutnya pada 15/04/2019, media kembali mempublikasikan temuan adanya semacam Moratorium dari sengketa lahan yang dimaksud. Dalam copy surat yang didapatkan jurnalis, disitu tertera surat ditandatangani oleh Bupati Bangka saat ini, Mulkan. 

“Tanah/lahan yang telah dibeli oleh sdr. xx yang diperkirakan merupakan tanah Negara (yang belum/tidak diketahui oleh pemerintah desa), maka surat menyurat atas tanah/lahan tersebut DITUNDA (belum bisa dikeluarkan surat menyuratnya) dan surat menyurat tersebut akan dikeluarkan apabila ada kesepakatan antara sdr. xx dengan warga desa Mendo kecamatan Mendo Barat kabupaten Bangka dengan bukti-bukti surat terlampir atas sepengetahuan dan se- persetujuan dari pemerintah desa Mendo kecamatan Mendo Barat kabupaten Bangka,” bunyi surat di butir (d).

Kendati demikian, eskalasi suhu kian meninggi tatkala berturut-turut di 3 November 2019 dan 4 November 2019, secara bergantian dua kelompok warga gantian saling demo di kantor Bupati Bangka. Keduanya seragam menyuarakan hal yang sama, yakni penolakan. Hanya saja, yang satu ingin agar Bupati mencabut izin berupa SK Bupati milik PT B, dan kelompok warga yang lain justru menolak kehadiran oknum pengusaha xxxx dari PT. A di desa mereka.

“Lahan kami telah dijarah terang-terangan oleh para makelar pak, itu kan lahan warisan turun temurun tempat kami menggantungkan masa depan, sekarang sudah hilang,” kata perempuan pendemo di halaman kantor Bupati. 

Kedua pimpinan aksi massa, yakni Jmns yang menolak PT B serta Zk yang menafikan oknum pengusaha xxxx di desa mereka. Pada saat ditemui sebenarnya beratmosfer yang sama, yakni soal kejelasan status lahan. Sayangnya, kedua belah pihak masih memakai tekanan unjuk kekuatan dengan pengerahan massa, bukan diplomasi untuk mencapai tujuan. 

“Kita sebenarnya mungkin sama saja bang, menolak pihak luar mengaduk-aduk lahan warga desa kami, tapi faktanya karena masalah ekonomi ada saja warga yang tergiur dengan tawaran murah tapi berpotensi pidana dari oknum makelar,” kata Zk saat diwawancara di kedai kopi Tung Tau pertengahan Desember 2019 yang lalu.

Epilog

Saat sekarang ini, pola investasi yang langsung masuk ke desa didukung langsung oleh pemerintah pusat. Lahirnya UU Ciptaker yang kemudian diubah lagi menjadi Perppu 2/2022 membuktikan sinyalemen bahayanya investasi jika cuma mengejar profit secara materi. Tanpa mengkalkulasi semua aspek vital lainnya, seperti pertahanan dan kedaulatan negara, rentannya warga desa jika tak satupun filter yang menyaring hidden agenda dari si investor tersebut. Bukankah insiden reklamasi pantai utara Jakarta sudah membuka siapa mereka sesungguhnya? Kan cuma pengusaha yang berasal dari sebuah rumah besar yang pengap oleh penduduk. Hampir ⅓ penduduk dunia berada dalam rumah mereka di utara negeri kita. Kalau pembaca masih ragu dengan analisa amatir penulis, silahkan cek sendiri siapa pemilik sertifikat di pesisir pantai yang tersebar di ± 17 ribu pulau. Hasilnya akan membuat anda sekalian tercengang. Karena bukan pribumi pemiliknya, namun bangsa asing. 

Akhirul kata, artikel ini ditulis webukan semacam xenophobia atau ketakutan tak berdasar pada orang asing. Tapi lebih kepada, mari kita bersama-sama mempertahankan tiap jengkal tanah air kita dari serbuan bangsa asing yang sangat tau mentalitas para ambtenaar kita yang menjalankan roda pemerintahan. 

Tahun 2019 di desa mendo direnggut ± 10 ribu hektare. Pada Januari 2023 ini -menurut informasi- ada ± 1260 hektare lahan desa berganti kepemilikan secara sistematis dan terstruktur. Jika media juga ikut bungkam atau menikmati sogokan korporasi, maka secara de facto tanah air kita mirip seperti bangsa yang terjajah. Ada tanah yang luas, tapi suratnya punya bangsa lain. Ada air yang melimpah, fapi pengelolanya bukan kita. Apa yang ditulis oleh sejarah bangsa ini jika kita orang media ikutan menari dalam tabuhan genderang bangsa lain?  Sekian. (LH). 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

Sign up for a newsletter today!

Want the best of NewsyFeed Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts

No Content Available