Pangkalpinang warta-one.com — Konsep pemerintahan di negara ini yang -harus diakui- bertipikal jawasentris dalam dua orde yang lalu, bukan saja melahirkan corak pembangunan yang terpusat pada satu titik semata. Tapi efek yang ditimbulkannya berpuluh tahun kemudian, bisa jadi akan menyurutkan perjuangan kaum reformis yang mencapai klimaksnya di tahun 1998 yang lalu, Sabtu 14 Januari 2023.
Beberapa poin perjuangan kubu reformis diantaranya adalah, terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang bersih dari anasir jahat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Meski fakta yang dirasakan sekarang, tanpa dipungkiri bagaikan pepatah jauh panggang dari api.
Sebab, berdasarkan informasi yang dilansir oleh Kemenkeu RI, akibat fatal dari nepotisme ialah, berkembangnya KKN yang terstruktur dan mengakar di organisasi. Ditambah lagi dengan, timbulnya diskriminasi terhadap karir seseorang, menimbulkan konflik kepentingan dalam organisasi, menutup kesempatan orang lain untuk berkembang, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
“Contoh nepotisme yang paling dekat dengan kita itu seperti penempatan anggota keluarga dalam satu posisi atau jabatan tertentu di pemerintahan, pemberian tender proyek pemerintah pada perusahaan teman dekat, pemberian kenaikan gaji karena ada hubungan kedekatan, dan sebagainya,” jelas KemenkeuRI.
Jadi Aristokrat Adalah Shortcut Menuju Privilese
Dengan begitu, nepotisme yang erat dengan warisan sistem cultuur stelsel penjajah, lambat laun akan diadopsi oleh alam bawah sadar bangsawan politik di negeri ini. Banyak penelitian yang menyebutkan hal ini.
Konsep-konsep utama yang dipergunakan untuk menganalisis temuan penelitian ini adalah konsep-konsep Weber dan Lenski (1978) tentang stratifikasi sosial (kekuasaan, previlese, dan prestise); serta konsep Verstehen dari Weber; dan konsep “Kapital Kultural” dari Bourdieu (1966).
Dengan kata lain, Nepotisme bisa diartikan sebagai kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan dan pangkat di lingkungan pemerintah, atau tindakan memilih kerabat atau sanak keluarga sendiri untuk memegang pemerintahan.
Kaum aristokrat yang terbentuk sebagai akibat dari genggaman kekuasaan yang direngkuh oleh salah satu anggota keluarga tadi, secara parsial akan didelegasi perlahan melalui skema pembagian kekuasaan secara terstruktur dan seolah-olah lewat mekanisme yang sah.
Dalam mencermati fenomena berkembang biaknya paham nepotisme tersebut, media warta-one.com kali ini menghadirkan narasumber seorang pengamat kebijakan publik yang sekaligus dikenal sebagai former Ketua Ombudsman RI Perwakilan Babel, Jumli Jamaluddin.
Menurut Jumli ketika ditanyakan soal kecenderungan rangkap jabatan, dia menyarankan agar sebaiknya dihindari rangkap jabatan di pemerintahan ataupun terjadinya dualisme jabatan. “Sebab dapat berpotensi besar terganggunya pelayanan, dan dapat menimbulkan imej kurang baik di mata masyarakat,” pesan Jumli menjawab konfirmasi wartawan.
Pergantian jabatan struktural atau fungsional, lanjut dia, sudah menjadi rahasia umum bahwa pandangan berbagai kalangan masyarakat akan melihat pergantian atau perombakan tersebut dikaitkan dengan unsur politis, biasanya menjelang akan berakhirnya masa jabatan kepala daerah yang akan dijabat nantinya oleh penjabat kepala daerah yang akan memasuki menjelang pilkada untuk periode kedua, terlepas benar atau tidak dugaan tersebut.
“Namun terlepas dari dugaan tersebut di masyarakat, maka pergantian atau perombakan pejabat eselon baik itu pejabat eselon rendah sampai eselon tinggi pemerintahan daerah itu sah-sah saja sepanjang sesuai mekanisme dan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat,” imbuhnya.
Berkaitan dengan pergantian Sekda Kota Pangkalpinang, kata Jumli, dalam hal ini saya tidak mau secara subjektif menilai terkait track record prestasi atau kinerjanya, sebab yang lebih paham adalah internal pemerintahan itu sendiri, dan tugas sekda lebih banyak tupoksinya berkaitan dengan pelayanan kepada ASN itu sendiri. Yang dominan pemberian layanan kepada masyarakat adalah eselon dua sampai ke bawah.
“Soal isu yang berkembang di masyarakat terkait pergantian sekda tersebut saya kira yang lebih paham apa persoalannya adalah sekda itu sendiri. Jika memang dirasa oleh sekda yang bersangkutan sudah bekerja sesuai tupoksi maka ketika dilakukan pergantian karena suatu dugaan yang tidak sesuai sekda punya hak untuk melakukan pembelaan bahkan bisa ke proses keberatan melalui mekanisme yang sudah ada,” ujarnya lagi.
Dan tentunya, tambah Jumli, selain pergantian sekda harus melalui mekanisme juga sebelum diputuskan untuk diganti harus dilakukan evaluasi terlebih dulu dan kajian apakah layak untuk diganti atau tidak, terlepas indikasi ada atau tidaknya dugaan politis menjelang Pemilukada 2024. (LH)